THE GREATEST FEAR II
Karya Harni Haryati
Part 2
"Mas,..." panggil Ibu pelan. "anak kita, Hasna,..." Ibu menarik napas sebelum melanjutkan, "Hasna dibegal, Mas. Motor kita raib."
Bapak mengeryit. Dia masih tak mengerti. Bapak teramat percaya dengan anak sulugnya.
"Mana mungkin, Bu. Wong Bapak tau Hasna iku kuat. Ono-ono wae Ibu iki." sangkal Bapak terkekeh.
Bapak bersikeras menampik pernyataan Ibu dan Lik Ina. Beliau tak akan percaya jika bukan saya yang pribadi mengatakannya. Aku tak tega melihatnya berlakon ibarat itu.
Aku menguatkan hati. Berupaya mengusir takut barang sejenak darisana. Bilamana mungkin saya akan dibenci oleh Bapak sehabis memberikan ini, itu lebih baik ketimbang melihat ia terus-terusan menyangkal kenyataan.
"B-betul, Pak," saya menarik napas dalam. Bapak terdiam. Menunggu kalimatku selanjutnya.
Aku memejam mata menghindari selidik matanya. "H-hasna dibegal, Pak." sederet kalimat sukses meluncur dari bibirku. Kepala ini tertunduk tak kuasa memandang raut keterkejutan di wajah keriputnya.
Belum usai penyesalanku, Bapak tumbang. Ia memegangi dada kirinya. Bukan. Lebih tepatnya meremas.
"Bapak!!" saya dan Ibu menjerit berbarengan.
Mulut Bapak mengap-mengap. Dia ibarat kesulitan bernapas. Keadaan semakin genting dengan terisaknya Ibu. Tangan kasih Ibu menaruh kepala Bapak di pangkuannya.
Aku panik. Gusar. Ketakutan kian menggila. Mengerogoti setiap inci asa dalam jiwa. Tangis menderas. Mengurai duka hati. Merembas hingga ke jilbab putih yang kukenakan.
![]() |
| The Greatest Fear II Karya Harni Haryati |
Aku memang takut Bapak kecewa dan memusuhiku. Tapi saya lebih takut bilamana kehilangan sosok Bapak.
Dan ketakutan menjadi faktual tatkala Bapak berhenti bergerak. Lik Ina menggeleng ketika ia menyidik nadi di pergelangan tangan dan leher Bapak. Itu berarti dia tak mencicipi denyutnya. Jantung Bapak berhenti memompa darah.
Ketakutan terbesarku hari ini menyapaku tiba-tiba. Aku teramat belum siap. Bapak meninggal sebelum sempat saya membahagiakannya. Detik itu saya merasa terlempar ke jurang keputusasaan.
***
Mataku membuka. Tubuhku kontan mengambil posisi duduk. Napasku terengah-engah ibarat saya gres saja lari maraton. Jantung ini berpacu lebih kencang dari biasanya. Tak lupa bajuku kuyup oleh keringatku sendiri.
Hal yang pertama kulakukan yakni menampar wajahku. Memastikan apakah ini mimpi? Atau hanya ilusi?
Aku meringis. Sakit. Pertanda ini bukan mimpi. Entah mimpi apa yang membuatku demikian kacau begin--Bapak! Aku mimpi Bapak meninggal. Segera kaki ini bergegas menuju kamar kedua orang tua.
Krieet
Pintu kayu itu membuka. Melalui celah saya mengintip ke dalam. Ada Ibu yang tengah memeluk Bapak di kasur. Sedang Bapak asyik mendengkur. Seolah tak terganggu dengan kebisingan yang dibentuk lisan Bapak, Ibu lelap tertidur.
Damai sangat wajah keduanya. Seakan tak ada beban bergelayut di pikiran mereka. Tanpa sadar sudut bibirku tertarik ke atas. Tersenyum. Sungguh saya ingin sekali menciptakan keduanya tersenyum karenaku.
Cukup usang saya mematung di tempat. Memandangi keduanya. Sama sekali saya tak berniat masuk ke dalam dan mengusik mimpi indah mereka.
Sebening embun pagi, bulir air mata menetes begitu saja. Membelai permukaan pipi pucat yang masih dingin. Kuseka dengan punggung tanganku. Oh, Ya Allah... Mataku bengkak. Pasti alasannya yakni terlalu usang menangis dalam mimpi hingga terbawa ke dunia nyata.
Mata ini melirik jam di dinding. Masih pukul 03:13. Aku yakni tipe orang yang tak bisa kembali tidur sehabis terbangun.
Menyadari itu, tentu saya tak menyia-nyiakan waktu sepertiga malam terakhir. Waktu mustajab bagi terkabulnya doa-doa. Aku beranjak mengambil wudhu untuk melakukan salat qiyamul la'il.
Dalam sujud saya bersyukur. Allah belum meminta kedua orang tuaku pulang ke rahmatullah. Aku berdoa kepada Sang Khalik, memohon semoga saya diberi kesempatan untuk menorehkan senyum di wajah bau tanah keduanya. Setidaknya saya bisa membalas jasa-jasa mereka meski hanya secuil tidak hingga setengahnya. Sebelum risikonya kedua orang yang paling kusayangi pergi dari hidupku... selamanya.
Subuh itu juga saya sadar. Apa yang paling menciptakan tangisku merembas deras adalah... kehilangan. Aku takut kehilangan orang yang paling kukasihi. Sungguh saya tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan ini berjalan tanpa adanya bimbingan orang tua.
Memang terdengar berlebihan. Tapi terus terang, saya belumlah siap. Terlebih bila saya kehilangan sebelum sempat menciptakan keduanya bangga. Membuat keduanya damai tanpa harus memikirkan keadaan anaknya. Itulah penyesalan yang paling berat membebani hati seorang anak.
-Rampung-
Profil Penulis:
Jangan lupa kunjungi my fanspage Goresan Hati Haryati
Advertisement
