SEBUCKET BUNGA
Karya Andi NurjannahMaria Sandra
Terlihat segenlitir orang berlalu-lalang berdatangan ke ruang guru, ujian kenaikan kelas selesai belum tentu beban pelajar sudah hilang. Itulah sebabnya Ranti dan Dita kini memasuki ruang guru hendak mencari guru Geografi dan menanyai apakah nilai mereka atau teman-teman sekelasnya dalam posisi kondusif atau tidak. Kaki mereka terhenti sempurna di sebuah meja dengan tumpukan buku tulis bersampul merah terang yang disuruh awal semester dulu.
"Permisi, Bu. Saya mau nanya wacana nilai Geografi sepuluh ips satu kondusif atau tidak?"
Perempuan yang di tafsirkan berumur empat puluhan itu membuka map kuning yang berisikan bolos seluruh siswa kelas sepuluh serta daftar nilainya.
"Kamu itu sama teman-teman kau kurang di materi....."
Ranti dan Dita saling beradu pandang dengan tatapan bertanya karna guru—Bu Retno itu menggantungkan ucapannya. Mata guru tersebut terus mencari dan menit kemudian pandangannya terangkat dari map kuning.
"Kalian kurang bahan litosfer."
"Kalau tidak salah, pas hari senin itu tanggal merah kemudian kiprah itu belum sempat ibu berikan ke kalian," lanjut bu Retno.
Ranti dan Dita mengangguk paham.
"Kamu minta fotocopyan gih di ipa tiga, kelas mereka masih ada beberapa lembar soal," terang bu Retno.
Ranti dan Dita tersenyum, lantas pamit dan mengucapkan terimakasih setelahnya, mereka malas ke kelas ipa tiga. Lagian ini bukan kiprah mereka, ini cuma inisiatif mereka berdua.
"Suruh si Farhan aja ah, beliau kan ketua kelas," ujar Dita sambil berjalan menyeimbangi Ranti.
"Iya gue juga males ah ke ipa tiga."
Derap langkah mereka tiba-tiba terhenti karna seseorang yang memanggil salah satu dari mereka.
"Ranti!"
Sontak keduanya menengok ke arah samping dan menemukan dua orang berjalan menghampirinya.
"Apa yan?" kata Ranti kepada sahabat sekolah menengah pertamanya dulu.
Ryan memperlihatkan secarik kertas sementara kedua temannya hanya diam melihat interaksi antara Ryan dan Ranti.
"Nih."
"Tadi gue lewat ruang guru ketemu Bu Retno, eh beliau nyuruh gua ngasih ini ke lo. Untung kelas gue deket jadi cepet gue kasih ke lo." terang Ryan.
Ranti tersenyum sambil mendapatkan secarik kertas itu.
"Thanks ya!"
"Yoi."
Baru Ranti dan Dita ingin membalikan badannya untuk kembali ke kelasnya itu, sahabat Ryan sudah memamerkan sederet giginya serta menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Halo Ranti?"
Ranti melemparkan senyum terpaksanya kepada insan sebelah Ryan itu. Matanya memutar jengah, melihat gerak-geriknya dan cara beliau berpakaian ibarat anak urakan! Tidak pernah terbesit di pikirannya sedikit pun untuk memiliki gebetan semacam pria di depannya ini. Karna type Ranti sendiri itu ibarat mantannya yang gres beberapa hari putus itu. Tinggi-berkaca mata, pinter dan supel. Tidak jelek ibarat kutu buku, dan Tidak nakal ibarat tipikal badboy. Semuanya serba biasa. Ranti menarik tangan Dita yang tadi tidak menimbrung sama sekali untuk cepat berjalan meninggalkan pria so asik dan so ganteng itu.
"Kenapa sih lo?" komentar Dita lantaran cekalan di pergelangan Dita begitu terasa ketika Ranti menariknya paksa.
"Jijik gue sama temen si Ryan."
"Yaiyalah secara type lo kan insan pustakawan."
"Sialan lo! Bima gak kutu buku juga kali," ucap Ranti tak terima mantannya disebut kutu buku dan bisa diartikan culun.
"Serah lo deh," Dita tetapkan mengusai obrolannya karna tak akan ada habisnya berdebat dengan Ranti.
Ranti dan Dita sudah memasuki kelasnya dan bergabung dengan tiga sahabat dekatnya itu.
"Eh dari mana aja lo?" tanya Cantika.
Ranti mengangkat selembar kertas itu.
"Habis dari ruang guru nanya nilai Geografi eh di kasih ini."
"Apaan tuh?" timpal Dea.
"Itu kiprah yang belum wacana litosfer." jawab Dita.
"Eh iya, ini kan harus di fotocopy ya? Panggilin si Farhan dong."
"FARHAN." teriak Dea.
Kemudian Farhan eksklusif menghampiri mereka dengan kacamata tebalnya dan celana yang terkesan gober.
"Ngomong gak usah teriak-teriak! Kita masih sekelas," decak Farhan.
"Iya iya deh serah lo."
"Nih fotocopy sama lo kiprah geografi buat sekelas, dikumpulinnya kini ya." tambah Dea.
Farhan mengambil kertas itu dan melengos begitu saja.
"Udah tau beliau suka congean ya kalo di panggil. Untung jiwa kemanusiaan gue keluar, kalo enggak mah udah gue bacotin ampe abis," ujar Dea.
Sontak mereka bertiga terbahak, mendengar ucapan devil dari seorang Dea.
"Stress lo!"
Cantika kemudian membuka ponselnya ketika ada pesan masuk tertera di home wallpapernya. Setelah membalas pesan entah dari siapa, Cantika kembali membuka instagram dan menemukan sebuah foto yang layak di gibahkan alias di gosipkan.
"Eh eh eh liat deh." Cantika menyodorkan handphonennya dan memperlihatkan sebuah foto di sana.
"Mereka putus?" tanya Dita antusias.
"Kayaknya iya deh, lo liat aja sendiri caption si cewenya kaya sedih sedih gitu," balas Cantika.
Ranti menyipitkan matanya ibarat kenal dengan pria di foto itu. Samar-samar ia mengingatnya ternyata pria itu temannya Ryan yang tadi sempat menyapanya.
"Keliatan sih cowoknya lenjeh gitu," Ranti berkomentar.
"Kata gue mah si Dindanya yang centil. Gue aja sering liat beliau kaya deket sana-sini sama perjaka malah pernah deket sama perjaka pas si Vinonya ada. Gila gak sih." kata Cantika.
Dan dari ucapan Cantika, Ranti mengetahui nama orang itu. Vino.
"Gue sih baiklah sama pendapat Cantika, soalnya gue lihat sendiri beliau balik sama perjaka pas si Vino lagi tanding di Bandung," ujar Dita.
Entah kenapa Ranti merasa tidak baiklah setiap perkataan pro wacana Vino. Mungkin saja Dinda memang supel orangnya jadi bersahabat dengan banyak orang dan bukan pria doang. Dan wacana dijemput bisa aja dengan kakaknya, sodaranya atau bahkan bisa saja dengan sahabatnya.
"Siapa tahu itu sahabatnya kan bisa aja."
Ketiga temannya itu eksklusif menatapnya dengan artian bertanya.
"Lo kenapa sih kayak gasuka banget sama Vino?" tanya Dea.
"Enggak ah biasa—"
"Gara-gara tadi si Vino gangguin Ranti. Ya gak?" sikutan kecil Dita mampir di lengan Ranti.
"So tau lo!"
"Udah ah ngapain juga ngurusin hidup orang," lanjut Ranti.
Beberapa menit kemudian Farhan sudah kembali dan membawa setumpuk kertas fotocopyan tadi serta bunyi menginstruksi supaya semuanya mengerjakan supaya bisa dikumpulkan hari ini.
***
Malam harinya, Ranti kembali menghembuskan nafasnya bergairah ketika mengingat besok hari Jumat dan itu tandanya besok ia akan kembali check up ke dokter Figo. Di ketika hening ibarat ini bunyi seseorang berjas putih higienis selalu terngiang indah, hatinya bergetar ketika mengingat ucapannya, pikirannya kembali kalut ketika membayangkan wajah wajah orang yang di sayanginya. Ranti menatap kosong dinding kamarnya, jendelanya yang sengaja belum ia tiraikan dengan gorden itu menampakkan gelapnya malam dan kesunyiannya. Akankah gelapnya ibarat itu? Mungkinkan sunyinya ibarat itu? Ah membayangkannya saja menciptakan ketakutannya semakin menjadi, terlebih setiap pagi Ranti selalu mencoret tanggal dengan tinta merah. Tiba-tiba pikiran itu tercerai berai oleh sebuah freecall yang masuk ketika ia melihat display namenya sungguh matanya eksklusif terbelalak.
'Ngapain telfon orang malam-malam. Dasar kurang kerjaan. Playboy. So ganteng.' Batin Ranti terus bermonolog, sementara dirinya sangat enggan untuk mengangkatnya.
Ia balikkan layar handphone itu kearah spreinya kemudian menarik selimutnya hendak mengistirahatkan dirinya dari segenap beban pikirannya. Matanya terpejam dan di menit kemudian alam mimpi sudah menguburku.
***
Pagi ini ialah hari masuk sekolah terakhir, karna besok sudah pembagian rapot. Seluruh siswa kelas ips satu sudah mengechek nilainya dalam posisi aman. Bel masuk sudah tidak menggema di setiap ruangan di sekolah ini, guru-guru sedang sibuk memasukkan nilai anak muridnya ke dalam rapot.Ranti duduk bertopang dagu sambil menimang-nimang apakah bencana semalam ketika Vino terus melaksanakan freecall ke dirinya akan ia ceritakan atau tidak kepada teman-temannya. Setelah memikirkan dengan matang, kesudahannya itu akan ia ceritakan kepada teman-temannya.
"Eh gue mau cerita." ucapan Ranti itu bisa menciptakan kedua sahabat di depannya yaitu Cantika dan Dea menengok serta Dita pun sahabat sebangkunya kini menatapnya.
"Ada apaan?" kata Dita.
Ranti mendesah nafas berat, semoga apa yang ia ceritakan tidak akan menjadi guyonan teman-temannya.
"Jadi semalem itu Vino nge freecall gue, beliau itu siapa sih? yang gres putus itu sama mantannya?"
Mata kedua temannya itu melebar seketika terkecuali Dita. Entah kenapa Dita sudah bakal menerka bahwa Vino menyukai Ranti.
"DEMI APAAA," tanya Dea dengan nada kaget.
Ranti segera membuka ponselnya dan menunjukkannya.
"Gue sih yakin kalo si Vino suka sama lo Ran," tebak Dita.
"Apaan sih lo!" elak Ranti.
"Gue harus gimana? Gue risih sama dia."
"Coba gue jadi lo, niscaya gue udah nerima si Vino terang-terangan," Cantika mulai berandai-andai bila dirinya di posisi Ranti.
Sebuah toyoran mampir kepala Cantika.
"Gausah ngayal lo dodol!" kata Dea.
"Menurut gue sih lo ladenin gitu."
"Gue gak biasa asal ladenin, gue emang ngerasa gak suka aja dari awal sama dia. Gak simpatik gitu."
"Lo gak takut eksekusi alam Ran?" tanya Dita lagi.
"Gue gak bisa, ada sesuatu alasan yang gak akan kalian mengerti," terang Ranti dan terdengar nada lemas di setiap perkataanya.
"Kenapa? Dari awal semester lo selalu ngomong gitu ke kita! Sampe kapan lo gak bisa ngeshare dilema lo itu? Kita temenan udah usang Ran, kita udah kenal hampir setahun ini. Ibaratnya kaya tai tai gue lo udah tau. Sementara lo? Masih nyimpen sesuatu, dan gue tau setiap lo ngomong tersirat kesedihan."
Ucapan Dea yang terdengar menyalang-nyalang itu bisa menohok hatinya, dan tanpa sadar bulir bening itu meloloskan dirinya dan mengucur indah di pipi Ranti. Dea yang melihatnya merasa tidak lezat hati, Dea merasa ucapannya itu terdengar hiperbola dan menciptakan temannya itu malah menangis. Dea eksklusif memeluk Ranti.
"Gue minta maaf, Ran."
Ranti mengangguk pelan.
Detik kemudian Ranti melerai pelukannya itu.
"Gue gak niat nyakitin lo."
"Sumpah gue minta maaf," lanjut Dea.
"Iya gapapa kok, gue ngerti kalian sayang sama gue. Gue juga sebenernya gak berpengaruh nyimpen ini sendiri cuma gue juga belum bisa dongeng ke kalian. Maafin gue juga ya."
Suasana sedih ini tiba-tiba hilang ketika bunyi ponsel Ranti berdering. Dilihatnya siapa pemilik notifikasi tersebut, ternyata Mamanya. Matanya eksklusif menjurus kepada sebuah benda yang menggantung di pergelangan tangannya. Astaga ini sudah jam sembilan lagi, niscaya mamanya sudah menunggu Ranti untuk check up.
"Halo mah?"
"Kamu dimana? Mama udah di depan sekolah kau ini. Ayo, sekarangkan jadwal kau check up."
"Iya mah, Ranti kesana sekarang."
Ranti menutup panggilannya kemudian menyambar tas dan memasangkannya di punggung.
"Eh gue duluan ya! Mama gue udah nunggu di depan."
Ranti eksklusif berjalan tergesa-gesa tanpa mendengar tanggapan dari teman-temannya itu. Kakinya terburu-buru hingga tanpa sadar tubuhnya menabrak seseorang. Orang itu lebih tinggi darinya, karna Ranti hanya se-bahunya saja, ia mengadahkan pandangannya dan ternyata itu pria yang kemarin menelfonnya. Ranti impulsif eksklusif menunduk dan berjalan cepat namun langkahnya tersenggal ketika sebuah tangan mencegahnya berjalan lebih jauh.
"Ada apaan sih? Gue buru-buru tau gak." Sentakkan kaki bahkan injakan kaki dari Ranti terhadap Vino tidak sanggup meloloskan cekalan tangan Vino.
"Gue bakal lepasin. Tapi lo diem ya jangan kemana-mana." Vino menatap manik mata Ranti dengan lembut, ternyata sifat jutek itu hanya dibuat-buat oleh Ranti, karna matanya sendiri menyiratkan kelembutan wanita ini.
"Gak, gue mau pulang," tolak Ranti tegas.
"Plis, sebentar aja." Vino tersenyum dengan raut wajah memelas berharap supaya Ranti mengiyakan permintaanya.
"Ih apaan sih! Gue mau balik," tolak Ranti lagi.
"Pliss plis pliss pliss pliss pliss pliss pliss pliss pliss plis......." ucapan itu sengaja Vino ucapkan berkali-kali.
Sementara Ranti yang mendengarkannya sudah muak dengan ucapan Vino. Lalu Ranti mengganguk berusaha mengelabuhinya.
"Iya, lo mau apa sekarang?"
Dan. Yes. Cekalan tangan itu terlepas, lagi-lagi Ranti berjalan cepat ingin menghampiri kendaraan beroda empat mamanya itu. Namun agresi itu gagal, karna Vino kembali menyeimbangi langkahnya sambil membawa sesuatu di tangannya.
"Ini coklat buat kamu," ucapnya sambil terus menyeimbangi langkah Ranti.
Ranti berhenti berjalan, cukup sudah pria ini membuatnya geram. Kakinya ia hentakkan, panas mentari juga sangat menyorot pada hari ini. Baru sepatah kata ingin ia keluarkan, tubuhnya ambruk. Dengan sigap Vino menangkapnya, semua orang yang berada di bersahabat sini eksklusif menatapnya kemudian menghampiri mereka dengan panik. Untung pada ketika itu terdapat sahabat dekatnya Ranti. Dita eksklusif melihat di depan sekolahnya sudah terparkir kendaraan beroda empat avanza hitam dengan plat yang sudah dikenali. Itu kendaraan beroda empat mamanya Ranti.Dita eksklusif mengetuk kacanya pelan, dan mamanya ranti eksklusif menurunkan kacanya itu.
"Eh Dita liat Ranti gak?" tanya mama Ranti.
"Ehm itu tante.. Hm itu si Ranti tadi pingsan," terang Dita tergagap dan detik kemudian mama Ranti turun dari kendaraan beroda empat dan membuka pintu kendaraan beroda empat belakangnya.
Dari kejauhan mata Dita sudah menangkap Vino menggendong Ranti ke mobilnya. Sedangkan mamanya Ranti sendiri kalang kabut bukan main, melihat putrinya lagi-lagi pingsan. Di tidurkannya Ranti di belakang dengan kepalanya berbantalkan paha Dita. Kedua temannya lain tidak ikut ke rumah sakit lantaran mamanya buru-buru ke rumah sakit, sementara Vino sendiri menyusul dengan motornya.
Pikiran Vino berkecamuk, andai saja tadi ia tidak memaksa Ranti untuk mendengarkannya atau membuatnya kesal saja bencana ini tidak akan terjadi. Vino mengakui, ia jatuh hati terhadap pesona Ranti. Sebenarnya ia telah menyukai Ranti semenjak lama, namun melihat Ranti sendiri masih berpacaran dengan orang lain menciptakan semangatnya itu surut dan menentukan melampiaskan ke Dinda.
 |
| Sebucket Bunga Karya Andi NurjannahMaria Sandra |
Sesampai di Rumah sakit, Ranti eksklusif dibawa ke ruang UGD dan eksklusif ditangani oleh dokter Figo yang merupakan dokter langganan atau dokter yang sering menangani Ranti. Semuanya menunggu dengan perasaan gusar, terlebih mamanya karna perasaan takut kembali menghampirinya. Dalam hati ia selalu berdoa kepada sang Pencipta supaya semua penyakitnya bisa sembuh dengan segala upaya yang sering dilakukan oleh Ranti. Mamanya menitikan air mata, rasanya ia tidak akan sanggup bila putri semata wayangnya itu pergi.
"Tante." Mama Ranti menengok sekilas, melihat seseorang yang memanggilnya. Seorang anak Sekolah Menengan Atas yang wajahnya lusuh dengan raut wajah bersalah. Mama Ranti menghapus air matanya itu.
"Iya?"
"Maafin saya Tante, gara-gara saya—"
"Udah nak, gapapa. Itu sepenuhnya bukan kesalahan kamu," kata Mama Ranti dengan lembut namun tak bisa dibohongi sorot matanya menyiratkan kesedihan disana.
"Tapi gara-gara saya Tante," tanpa sadar tetesan air mengucur indah di pipi Vino.
Dita yang melihatnya sedikit terkejut, Vino ternyata benar-benar menaruh hati pada sahabat sebangkunya itu.
"Udah nak, Ranti baik-baik aja kok."
Suara kenop pintu terbuka semua perhatian kini teralihkan ketika donter Figo sudah menghampiri mereka.
"Bu Sonya, mari saya jelaskan sedikit wacana perkembangan penyakit Ranti." Mama Ranti lantas berjalan menguntit dokter Figo untuk menuju ruangannya.
Vino dan Dita eksklusif masuk ke kamar inap Ranti dan melihat Ranti terkulai lemas di ranjangnya. Dita duduk di kursi sebelah ranjang Ranti.
"Lo sakit apa sih Ran sebenernya?"
Ranti menggeleng lemah.
"Gue baik-baik aja kok," sebuah senyum nrimo terlukis indah di wajahnya.
"Lo dongeng sama gue kalo kenapa-napa. Gue, Cantika, Dea. Dan semua orang itu pada care sama lo," terang Dita.
"Makasih ya, gue juga sayang sama kalian semua."
Pembicaraanya terhenti dan ruangan ini kembali di dominasi keheningan, hingga seseorang bersuara dan memecahkan keheningan.
"Ran, gue minta maaf ya sama lo. Gue gak niat bikin lo kaya gini." Ranti yang mendengarkan ucapan Vino itu seakan luruh begitu saja, kebenciannya itu tiba-tiba luntur entah lantaran apa.
"Iya hening aja." Ranti tersenyum tulus.
***
Sejak ketika itu kedekatan mereka mulai tercipta, Vino sering mengunjungi rumahnya dengan membawa makanan-makanan yang Ranti pinginkan. Ranti sendiri kini merasa ucapan yang sempat ia lontarkan kepada Vino itu tidak benar. Vino baik dan nrimo kepadanya, perhatian-perhatian kecil yang ia berikan bisa menciptakan nyaman Ranti. Contohnya ibarat pada malam hari ini, Vino menelponnya dan kali ini diangkat semangat oleh Ranti
"Halo?"
"Halo."
"Udah makan? Kamu sehatkan?"
"Belom, males makan. Sehat kok. Kamu sendiri udah makan?"
"Kalo saya gak ditanya aja udah porsinya dua kali lipat. Apalagi ditanya kaya gini rasanya pengen ngomong belom makan biar disuruh sama kau hehe"
"Apaan sih gombal!" Semburat hangat menyebar lagi di dirinya, gombalan receh dan alay Vino mamph membuatnya kini senyum-senyum sendiri.
"Kamu makan gih, nanti sakit lagi."
"Gak mau, males makan."
"Kamu mau ayam bakar?"
"Mau hehe," kalimat itu meluncur begitus saja. Bagaimana bisa ia menolak ayam bakar masakan kesukaanya.
"Yaudah saya kesana ya."
"Ga—" belum selesai ucapan itu terselesaikan nada telponnya itu sudah mati.
Ranti kini bahagia, ia terus tersenyum mengingat ucapan Vino. Darimana bisa si Vino mengetahui masakan favoritnya itu? Hatinya kini ibarat bermekaran bunga. Namun kebahagiaan itu ketika hilang ketika mengingat pertanyaan dari Vino yang hingga ketika ini belum bisa ia jawab. Dari lubuk hatinya sebetulnya Ranti menjawab; iya. Tapi Ranti tidak mau egois, ia tidak akan menciptakan Vino terikat dengan dirinya dalam sebuah hubungan. Setidaknya walaupun mereka kini dekat, Vino masih bebas untuk berdekatan dengan wanita lain. Ranti tidak ingin menyakiti Vino suatu ketika nanti....
"Ranti," ketukan pintu ikut terdengar beriringan. Ranti melonjak dari kasurnya membuka pintu kamarnya.
"Iya mah?"
"Ada Vino di bawah nak."
Ranti menelan senyumnya di hadapan Mamanya, bisa-bisa mamanya akan menggodanya sepanjang hari bila tau Ranti menyukai Vino. Langkah kaki Ranti menuruni anak tangga itu, dan matanya eksklusif menangkap Vino duduk di sofanya dengan sebuah bungkusan yang berada di sampingnya.
"Ngapain malem-malem kesini?" tanya Ranti berpura-pura lupa. Vino menarik sudut bibirnya itu, lantas memperlihatkan plastik yang bisa ditebak oleh Ranti ialah ayam bakar.
"Nganterin ayam bakar buat kamu." Ranti mendaratkan bokongnya di sofa.
"Aku udah kenyang tau." Alis Vino terangkat.
"Kamu udah makan?" Ranti menggangguk.
"Udah."
"Yaudah buat besok aja."
Ranti menyengir kuda lantas membawa ke dapur bungkusan itu, ia membuka ayam bakar dan membawa dua piring untuk dirinya dan Vino. Setelah selesai, Ranti menaruh piring itu di atas meja. Vino yang melihat Ranti malah menghidangkan masakan itu malah kebingungan.
"Lho kau katanya belom makan?"
"Sebenernya tadi sore udah di suruh makan sama Mama, cuma malemnya laper lagi hehe." Ranti menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ayo makan, itu kan di dalem piring ada nasinya," kata Ranti.
"Aku sebelum kesini kan udah makan."
Ranti memeragakan sedikit dengan tangannya yang ia bentuk dengan space kecil antara telunjuk dengan jempolnya.
"Makan dikit aja."
"Aku kenyang tau."
Ranti mengerucutkan bibirnya, sementara Vino kesudahannya menyerah karna sudah melihat Ranti dengan lisan menggemaskan ibarat itu.
"Yaudah deh saya makan," Vino mengambil piring itu lantas mengambil penggalan paha ayam itu.
"Ambil aja yang banyak saya udah pisahin buat mama kok," Ranti berujar sambil mengunyah nasi dengan ayam bakarnya. Vino mengelus puncak kepala Ranti.
"Makannya pelan-pelan. Enak ya?" Ranti mengganguk.
Mamanya menuruni anak tangga lantas melihat putrinya itu makan berdua dengan Vino. Wajah Ranti begitu menyiratkan kebahagiaan ketika berada di bersahabat Vino.
"Aduh ini abg lagi pacaran. Makan berdua lagi, serasa dunia milik berdua." Ranti melihat mamanya menarik hati dirinya dan tanpa sadar pipinya memanas.
"Ih mamah! Ayo mamah makan sini bareng juga," ajak Ranti.
"Makan Tante hehe," Vino berucap kikuk.
"Gak ah, gak diajak tadi jadi mama gak mau." bercanda mama kemudian kami bertiga tertawa bersama.
Setelah menghabiskan masakan itu, Ranti dan Vini kembali bersenda- gurau.
"Masuk sekolah masih usang ya. Kangen Dita, Cantika, Dea," tutur Ranti.
"Kamu gak kangen aku?" Ranti mencubit lengan Vino kecil karna lagi-lagi Vino menggodanya.
"Vino ih apaan sih." Vino terkikik.
Handphone Ranti bergetar di atas meja, lantas Ranti meraih benda itu ternyata sebuah panggilan grup dimulai oleh Cantika.Ranti meng-klik bergabung lantas video panggilan grup dimulai.
Cantika: Rantii kangen!!!!!
Dea: Heh Ranti gue kangen!!!
Dita: Gue mah ga kangen y Ran.
Ranti terkikik melihat wajah sahabatnya yang kucel-kucel dan bisa dipastikan niscaya ketiga sahabatnya seharian tidak mandi.
Ranti: Ketauan lo semua, gak mandi ya seharian!
Dea, Cantika, Dita: Hehe tau aja loh.
Dea: Emang keliatan banget ya? Ya ampun jimayu dedek
Dita: Najis so dede gemes lo ah.
Seketika wajah Cantika melongo dan matanya tiba-tiba terbelalak ketika melihat seseorang yang Ranti belakangi.
Cantika: Oemjih gaes.
Dea: Napa gengks?
Dita: Napa dah?
Cantika: CIE RANTI SIAPA TUH DI BELAKANG LO. CIE HAHAHAHAH PAJAK DITUNGGU YAK PAS MASUK SEKOLAH WAJIB PARAH INI MAH.
Sialan, bunyi Cantika terdengar cukup keras hingga Vino menengok ke arah Cantika. Ranti sengaja mendekatkan ponselnya ke arah Vino, biar saja si Cantika semakin histeris.
''Hai,'' bunyi Vino eksklusif menciptakan ramai panggilan ini.
Cantika: Vino tadi gadenger ratifikasi dari kita kan? Kalo kita gak mandi seharian?
Dea: Dodol lo kampret! Rusak pencitraan kita.
Dita: Vino gue mah gak ikutan ya, btw. Cariin temen lo dong Vino yang ganteng buat gue. Makara kan ntar kita bisa double date gitu.
Vino tertawa puas, teman-teman Ranti bisa mengocok perutnya malam ini. Ranti mengalihkan ponselnya ke arah dirinya lagi, kemudian mulai menjawab pertanyaan dari ketiga temannya.
Ranti: Pertanyaan buat Cantika sekaligus Dea. Pencitraan lo emah udah pada rusak kali.
Ranti: Pertanyaan buat Dita, gak ada buat lo. Gak usah bergaya deh ngedate-ngedate segala.
Dea, Cantika, dan Dita: SO VLOGGER LO KAYA NGADAIN Q&A AJA!
Ranti tertawa puas kali ini, ini yang akan membuatnya takut. Takut melihat keceriaan diantara mereka hilang hanya karna satu orang.
Ranti: Gue udah dulu ya. Kiss-kiss manja dari gue.
Klik. Opsi keluar dari panggilan video ini berhasil di keluarkan. Perhatiannya kembali dialihkan pasa sebuah posting foto dari Dinda Deandra. Lantas ia menyodorkan ponsel dengan berisikan foto itu ke arah Vino.
"Cantik banget."
"Itu mantan kau kan?" tanya Ranti lagi. Vino mengganguk.
"Iya, biasa aja tapi."
"Bohong banget."
"Serius deh," Vino menatap manik mata Ranti dalam dan penuh arti. Ranti memeletkan lidahnya.
"Mulut mah enggak, hati mah iya."
"Cie cemburu ya?"
Sialan, arah pembiacaraan ini ibarat boomerang buat Ranti.
"Apaan sih geer!"
Kembali ia melihat banyak sekali postingan foto dan ada sebuah foto yang menarik buat dirinya. Foto sebucket bunga berwarna biru, matanya terus menatap gambar itu. Entah kenapa dirinya tiba-tiba mengingkan sebucket bunga mawar biru.Vino yang melihat Ranti terus berdiam diri dan melongo menatap ponselnya itu kini eksklusif melihat apa yang tertera disana. Ternyata se-bucket mawar biru.
"Kamu mau?" Ranti melirik sekilas ke arah Vino.
"Mau, pengen."
"Besok ya saya beliin?"
"Aku ngerepotin banget ya, suruh kau beli ini-itu?"
Vino menggeleng, pertanyaan Ranti sama sekali tidak benar. Vino membelinya dengan nrimo sebagai wujud cinta dan kasih sayang kepada Ranti.
"Kamu kok ngomongnya gitu sih? Ya enggak lah."
Vino melihat benda di pergelangan tangannya ternyata sudah cukup malam, kemudian ia berpamitan kepada mama Ranti kemudian melajukan motornya.
***
Sonya— Mama Ranti daritadi tidak melihat putrinya turun untuk sarapan pagi bersamanya. Setelah kepergian Papanya dua tahun silam, Sonya dan Ranti hanya hidup berdua. Baru ia mengoleskan beberapa helai roti, perasaanya merasa tidak enak. Tidak biasanya Ranti tidak sarapan bersama Sonya, walau hari libur sekalipun. Lantas kakinya ia arahkan untuk menaiki beberapa anak tangga, perlahan Sonya mengetuk pintu kamar Ranti namun tak ada jawaban sama sekali.
Dibukanyalah gagang pintu dan menampilkan putrinya yang terkujur lemas dengan bercak darah di hidungnya. Lagi-lagi anaknya itu mimisan. Mama Ranti eksklusif mengguncangkan pundak Ranti perlahan namun tidak ada jawaban. Baru mama Ranti ingin menggendongnya, ternyata putrinya sudah membuka matanya.
"Ranti gak kenapa-napa mah. Ranti berpengaruh kok." Ranti mencoba bangun dari kursinya namun hasilnya nihil, badannya kembali luruh di lantai.
Mamanya eksklusif menggendong Ranti, walau terasa berat namun ini tak seberapa dengan apa yang sedang di rasakan Sonya. Setelah melewati anak tangga, Ranti eksklusif di dudukan di kursi rodanya dan segera dibawa ke rumah sakit oleh Mamanya.
Sesampai di Rumah sakit, Ranti eksklusif dibawa UGD bahkan hingga masuk ruang ICU, hari ini ialah jadwal praktek dokter Figo itu artinya dokter itu akan kembali menangani Ranti. Di ruang tunggu sudah terdapat Dita, Cantika dan Dea serta Vino yang duduk dengan pandangan yang berbeda.
Mungkin Dea, Cantika, Dan Dita kini mengerti bahwa sebuah alasan yang berpengaruh untuk tidak menjalin kasih dengan seseorang lantaran ini. Ranti tidak mengizinkan seseorang menyanyanginya supaya kelak orang tersebut tidak akan mencicipi kehilangan. Vino duduk dengan gusar, berkali-kali ia mengacak rambutnya frustasi. Semalam ia gres saja bersenda gurau bersama Ranti dan kini Ranti kondisinya kembali ngedrop? Ya Tuhan, Vino tidak sanggup melihatnya.
Vino sungguh menyayangi Ranti, jiwanya kembali di dominasi ketakutan yang teramat, Pikirannya menjalar kemana-mana terlebih mengingat apa yang ia bawa kini ialah harapan Ranti semalam. Bunyi pintu terdengar, semua mata kembali menunggu sosok Dokter Figo yang keluar dari ruangan Ranti.
"Bu Sonya," panggil Dokter Figo lirih.
Tubuh mereka semua kembali menegang, menunggu penuturan yang terang dan detail wacana kondisi Ranti ketika ini. Mama Ranti sendiri sudah meloloskan banyak bulir air mata pada pagi ini.
"Iya, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?"
Dokter Figo malah membisu, dalam keadaan bisu ibarat ini seolah dunia hari ini runtuh kepada mereka.
"Dok, bagaimana keadaan anak saya?" ulang Dokter Figo.
"Kami dari pihak dokter meminta maaf sebesar-besarnya lantaran Ranti, anak Ibu tidak terselamatkan."
Setelah selesai mendegarkan ucapan si Dokter. Mama Ranti eksklusif tidak sadarkan diri. Cantika, Dita dan Dhea eksklusif menangis sejadi-jadinya, dan Vino ia memasuki ruangan itu dan menghampiri Ranti.
Vino tak kuasa menahan pedih yang ada, air mata kembali mengucur indah di pipinya ketika melihat orang yang ia cintai terkujur lemas bahkan sudah tak bernyawa. Vino menggengam jemari Ranti dan menautkan jarinya di tangan Ranti. Kemudian membisikan sesuatu kalimat untuk Ranti.
Ranti, saya sayang sama kamu. Kenapa kau pergi secepat ini? Setelah pengorbanan yang saya laluin demi kamu. Sekarang saya mengerti, kenapa kau tidak mendapatkan cinta ku. Itu karna kau tidak ingin menciptakan ku sedih bukan? Itu salah besar Ranti. Ini tetap menyakitka, tapi bagaimana lagi? Ini sudah jalan kita bukan? Aku harap kau senang disana ya, saya selalu selipkan nama kau di setiap doa ku.
Setelah mengucapkan sederet kalimat itu, Ranti kemudian dipindahkan ke ruang jenazah. Hati Vino kini seakan di rujam oleh sembilu, dadanya seakaan di timpa oleh benda berat yang menyesakkan dada, crystal bening itu selalu meloloskan diri dari pelupuk matanya.
Saat Mama Ranti sadar, ia langsug mengurus semua soal pemakaman dan kesudahannya pemakaman akan dilakukan pada hari ini jam 12 siang. Sesi pemakaman berjalan dengan lacar. Hingga ketika semuanya mulai meninggalkan pemakaman ini sehabis berdoa bersama selesai. Tersisa Mama Ranti, Vino, Dea, Cantika dan Dita. Ketiga sahabatnya itu merasa terpukul atas kepergian sahabatnya ia menangis sendu dengan bunyi yang hampir tak terdengar.
Mama Ranti begitu terpukul karna tak habis-habisnya ia menangis dengan menatap nanar papan bertuliskan nama putri semata wayangnya itu. Ia mengelus papan itu lembut, kemudian menciumnya, lantas berjalan dengan gontai menuju rumahnya dan kembali berkemas untuk mudik dan tinggal bersama saudaranya di sana. Dan Vino, di bawah langit yang masih sama ibarat kemarin dengan suasana yang sudah berbeda Vino mengusap wajahnya yang lembap lantaran air matanya itu.
Setelah ketiga sahabat Ranti pulang serta Mamanya Ranti juga meninggalkan makam ini, tersisalah Vino seorang. Ia menaruh sebucket mawar biru itu di bersahabat papan itu kemudian mengucapkan beberapa kalimat yang diucapkan dengan nada getir. Halo Ranti sayang, disana baik-baik ya. Aku yakin kok kau senang disana, jangan galak-galak ya disana dan jangan jutek juga kaya kau ketemu saya pertama kali. Aku disini selalu sayang sama kamu, saya belum puas memeluk mu hingga Tuhan sudah menariknya paksa. Entah, saya tidak menghitung berapa senja yang bisa kita rasakan bersama? Rasanya sesingkat itu ya pertemuan kita. Kamu disana yang hening ya, Sayang.
Kalimat itu selesai bersama derasnya air mata Vino yang mengalir. Ia sungguh tak berpengaruh mencicipi sebuah kehilangan, namun apa boleh buat? Siapa yang bisa dengan gagah melawan takdir? Ia melangakan kaki gontai menuju mobilnya. Hidup harus terus berlanjut, sedih itu pantas. Namun jangan larut dalam kesedihan, justru itu akan menciptakan seseorang berat melangkah ke dunia barunya.
Profil Penulis:
Halo!
Temui saya di:
Wattpad: mariasndrr
Email: marialexandraf23@gmail.com
Advertisement