Sinkronis Paritas Karya Ledy Triananda

Info Populer 2022

Sinkronis Paritas Karya Ledy Triananda

Sinkronis Paritas Karya Ledy Triananda
Sinkronis Paritas Karya Ledy Triananda
SINKRONIS PARITAS
Karya Ledy Triananda

Aku. Pagi tak pandai menyibak apa yang sedang dirasa. Lebih—memilih untuk membisu dan bungkam, senyap dan lenyap, atas pergolakan hati yang sedang menggelegak. Pagi lebih pandai beranalogi, merakit substansi, larut dalam analisis sebuah fenomena, dan merangkai kata… meski tak suprasegmental mirip pujangga, dan tak lebih baik dari guru bahasa Indonesia. Hingga disuatu masa, pagi mendeklarasikan sebuah hati sedang tertambat. Pagi jatuh kepada cinta. Bahwa ia sedang mengasihi seonggok mentari di kausa hari. 

Aku. Pagi berani mencinta mentari hingga miliaran windu abadi. Disetiap denting tik tok berjalan lambat, ketika mentari tandang mengusir embun untuk menyegarkan dahaga di pucuk-pucuk belantara hijau. Pagi merasa senang ketika ia tiba menyiangi. Melihat pagi, secangkir kopi dengan setangkup roti dan hal lain di belakang yang menyertai. Mentari seolah menatap pagi—atau terlebih semua khalayak?

Aku. Pagi tak pernah terbayang mentari yang akan menghangatkan hatinya di sepanjang hari. Bersama kicau burung gereja dan angkasa, deru knalpot motor dan trotoar, pasar dan ibu-ibu pembawa sayur, anak sekolah dan sepeda kayuhnya. Ia yang mengakibatkan sebuah momen sederhana menjadi luar biasa. 

Aku. Pagi punya senang sebagai kosakata yang akan menemaninya hingga beratus-ratus lamanya hingga ia mati. Saat itu pagi tahu, ia mengasihi mentari bukan alasannya materi, tetapi alasannya esensi. 

Aku. Pagi, dan mentari tidak akan tahu, tiap kali pagi mengejar, seberapa usang pagi berusaha, mentari selalu pergi menjauh menuju bujur di sebelah barat. Hingga waktunya habis dan siang menepis. Mentari tak bergeming di kawasan hingga tamat. Sehingga pagi terbunuh oleh waktu. Mentari abadi. 

“Mengapa? Mengapa mentari menjauh?” 
“Mentarimu tertambat pada suatu keadaan sekejap, Pagi.” Angin membawa kabar hari itu. Mungkin kabar berembus dari Cordoba? Atau pedalaman suku Maya? Lalu diterbangkan angin dan sampailah isu itu kepada pagi. Hari sedih dan pagi mendung. 
“Siapa?” Geledek menggelegar di sana-sini, pagi bergejolak terombang-ambing tak seimbang. Ingin muntah.
“Si semok Senja.” Lalu pagi menumpahkan tangisnya, serta bumi rela diguyur hujan dengan tulus dan mentari entah sembunyi di mana. 

Hingga alam menyadarkan bahwa mentari ialah sebuah pengecualian untuk pagi, siang, dan petang. Petang? Sesudah kesakitan usang dan takdir yang tak pernah terduga. Bahwa pagi lupa, bila petang masih ada. Petang ada. Pagi terusik bisik-bisik ingin tahu.

Mungkin pagi dan petang dulu ialah cinta sebelum Adam dan Hawa diturunkan ke dunia. Atau mereka memang mencinta atas saling ketiadaan? Lalu rela pergi ke sumbu masing-masing, menentukan untuk sendiri, tetapi berharap kekasih. 

Mereka, sebagian kecil yang peduli kepada si pagi renta yang terkadang menyebalkan, menemani waktu yang tersisa sambil menikmati hari yang panjang dan mengantar pagi pergi dan siang berganti.

Pagi enggan untuk bergugus membentuk kesatuan—sebuah polimerisasi yang merancang untuk pupus alasannya air panas. Terkadang pagi berpikir bagaimana, jikalau, bahkan bila mungkin, semua dari sekian hanya mempunyai satu emosi; yaitu tenang. 

Mungkin bumi kita tak lagi kesakitan, tak lagi penuh luka, tak lagi berdarah, dan lagi-lagi tak perlu menangis ketika kita menyiksa mirip ini. Tak perlu mirip pagi yang sedang terisak dan murka tidak tahu kepada siapa. 

Sesekali, hanya alam yang tenang dan sanggup mengantar bahasa dan karakter lewat firasat. Melarutkan pikiran dan perasaan. Makin banyak membuat kotak-kotak labirin tak berpenghujung dan berkelok-kelok. Tambah di depan mata, jurang, tebing, dan miring menghadang jalan, membuat kita makin pasrah akan sebuah kesaksian nyata. 

Aku. Pagi hilang dan siang menghadang. Siang pulang dan senja menjadi senjang. Kitapun tahu, bila mentari dan senja ialah pasangan harmonis dipenutup hari. Melebur melepas rindu di dimensi kosmis. Senja dan mentari ialah paduan mozaik ekstra yang kita damba di sudut impian yang tak pernah nyata. 

Mereka sedang bermadu kasih di kelebat sudut bumi sambil pergi berkencan ke arah garis horizontal yang imajiner. Di sana mereka senang dengan sorot dan sebelanga nila menyiram lanskap cakra dengan semburat emas bertahta permadani kolam binar kumpulan astra dan galaksi.

Mungkin pagi hanya sanggup menjadi biru yang diberikan semasa hidupnya kepada mentari dan awan. Mungkin mentari lebih mengasihi senja alasannya tak hanya nila ia berwarna tetapi juga jingga. Mungkin mentari menjadi permai dan distingtif kala atmosfer sore menyeruak pesam bersama senja. 

“Apakah mentari benar mengasihi senja?” Kemasygulan pagi menjadi medan perang antara kecemasan dan kebimbangan yang terus menari-nari.

Satu, dua, tiga sejoli itu beradu mesra, mengembangkan afeksi dibatas maksimal, menabur cinta disetiap pertemuan. Menatap senja dan mentari yang menjadi paket komplet diusai hari yang melelahkan. 

Sinkronis Paritas Karya Ledy Triananda

Aku. Pagi berdiam diri, di kawasan paling tersembunyi di balik bumi dengan linangan bulir-bulir bening yang menggelinding rapuh. Disaat semua melihat senja dengan hening dan tenang bahkan bahagia. Pagi berbeda. Kesakitannya terus meraung-raung. Rela menjadi yang terbaik di awal hari, masih menjadi biru kepada mentari tanpa kelabu. Tetapi tak pernah berarti apa-apa. 

Aku. Pagi sedang kesakitan. Sederhananya mirip ini.

“Aku si Pagi mengasihi engkau sang Mentari, tetapi engkau sudah bersama yang lain.” Perihal klise dan pagi sedang merasakan. 

Cintanya dan ia berada di frekuensi yang sama dengan tingkat fluktuatif tanpa pelengkap harus dikuadrat. Pagi dan senja sama, tetapi mentari lebih menentukan bersamanya. Karena katanya senja lebih berwarna. Memang sudah aturan alam pagi hanya tersaji di permulaan hari, dan ia yang indah terbesit antara sore dan petang. Kalian, mentari dan senja, telah senang sebagaimana mestinya. Pagi yang merelakan. Dan usai sudah sebuah reminisensi dengan salah satu hati yang harus terpatahkan.

Ini, ulasan perihal hati yang lagi emosi dan makna filsufnya berada di titik nol tidak lebih menuju x absis. Ini bodoh. Sama mirip pagi yang terbelakang mencinta mentari padalah sang hati hanya terpaut kepada senja. 

Aku mirip pagi, dengan kesakitan yang sama. Serta perasaan yang tidak tahu akan kemana ia akan bermuara.  Cakap perihal dunia beserta materinya terkadang terlalu rumit. Mulai dari siklusnya, cara kerjanya, semuanya. Terkadang beberapa hal di dalam sebuah awak berisi nafsu melebihi batas porsi yang tersedia. Tak lagi soal selera. Lagi-lagi soal suka. Makin cinta, kemudian buta. Seperti manusia. Itulah dunia dan manusia, yang di rancang sulit di terka kemudian terluka. 

Dalam hidup, patah hati ialah hal masuk akal dan setiap yang eksis selalu merasakannya. Mematahkan atau dipatahkan. Hanya dua pilihannya. Namun untuk ketika ini, saya berada di opsi yang paling mengenaskan. Aku benar-benar perempuan yang penuh belas kasihan alasannya sudah usang patah hati dan belum kunjung menemukan seseorang yang pantas untuk kujadikan masa depan. Sama mirip senja dan mentari. Sama mirip kau dan dia. Dan saya sudah pasrah.  Cintaku kepadamu tak berasal, sama mirip kau yang jatuh hati kepadanya, dan kalian menentukan untuk bersama. Menatap kalian berdua sudah bahagia, dan di sini saya merelakan sepotong hatiku rela kau bawa pergi tanpa kau tilik. 

Di salah satu sudut kedai kopi paling nyentrik, saya sedang duduk di sana sambil menyaksikan ingar-bingar yang menyenangkan. Aku menyesap kopi cuek itu pelan-pelan sambil melihat pagi di hari Minggu yang mendung. Semendung hatiku yang sedang dirundung sendu.

“Ana?” Aku menoleh ke arah bunyi itu berasal. Dia pria berambut cepak, pawakannya sedang namun tegap, matanya yang tajam tetapi terkesan menenangkan, dan rahangnya yang kokoh.
“Ya?” Aku mengusut dan mengamati wajahnya dengan raut bingungku. Aku ingat wajahnya tetapi saya lupa siapa namanya dan di mana kita pernah bersua. 
“Genta. Masih ingat? Kita sahabat satu pembinaan di Palembang satu bulan yang lalu.” Ujarnya sambil tersenyum. Ah ya, saya mengingatnya sekarang. Laki-laki itu, Genta namanya. Aku pernah terpana dan sedikit terpikat oleh gaya bicaranya yang lugas dan luwes, cara berpikirnya yang tidak pernah idealis, caranya memperlakukan perempuan sepertiku, tertawanya, senyumnya, bahkan tatapannya, tetapi hanya berakhir hingga sana. 

Aku membalas hal serupa, tersenyum kepadanya. “Oh maaf, saya lupa namamu.” 

Dia menggeleng makhlum. Mungkin. Tetapi dari lisan wajahnya terkesan geli dengan pertemuan tiba-tiba ini. “Boleh saya duduk di sini?” 

“Silakan.” Aku mempersilakan beliau untuk duduk di depanku. 
“Kamu … sendirian?” Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mirip memastikan sesuatu.
“Sendirian? Aku duduk dengan kamu.” Aku mengendikkan bahuku hirau tak acuh. Ia tertawa menanggapiku. 
“Syukur, berarti saya tidak membiarkan perempuan anggun duduk begitu saja tanpa di temani siapa-siapa.” Salah satu dari pemikirannya yang kukira tidak idealis bahkan menjadi sangat tidak rasional. Dan entah mengapa sebagian dari diriku mencicipi desiran asing melambai bab hati. Aku terkekeh pelan.
“Ini.” Aku menunjuk secangkir kopi di erat tanganku saling bertautan awalnya. “Yang menemaniku.”
“Dan kini di tambah saya.” Ia menumpukan sikutnya di meja bundar, menautkan jari-jarinya, dan menopang dagu sambil tersenyum manis kepadaku. Aku hanya sanggup tersenyum dan mendengus sedikit akan tingkahnya. 

Pagi itu, saya berasa mempunyai nyawa lagi, mirip lahir kembali, menyerupai menemukan saya yang pernah hilang, saya yang pernah musnah, dan hampir punah. Aku dan ia membuat dialektika yang membuat saya lupa bahwa kopi-kopi pagiku sudah tak lagi cuek alasannya sering tak tersentuh tetapi tetap kuminum, terlalu larut menjadi endap dalam candaannya yang terkadang terkesan tidak lucu, hingga suatu ketika tiba sebuah pembicaraan serius mengenai terbukanya pintu gerbang dan kita diberi kesempatan untuk melaju bersama.  Aku berharap menerima sepotong hati baru, untuk hidup yang lebih maju. Kalau boleh memberi sebuah prosesi disebuah pembuka. Aku sudah melakukannya, dengan hikmat dan berusaha sebaik-baiknya. 

Mungkin suatu ketika pagi harus mati supaya ia sanggup bertemu lagi dengan petang, melebur menjadi gelap dan abstrak. Menyajikan bencana sakral dan magis tetapi penuh cinta, pengertian, kedaiaman, dan memaafkan. Dalam satu waktu, Tuhan akan mempertemukan lagi pagi dengan pasangannya—dengan petang yang selalu mengharap sebuah keabadian yang kekal. Di gugus alamnya yang tersedia. Entah di mana. Dan saya berharap itu akan terjadi pada saya dan pria berjulukan Genta, penikmat sinkronis paritas pagi.

Kini, hatiku yang usang mati telah dilahirkan kembali menjadi sepotong hati gres penuh dengan buih-buih cinta sesungguhnya. Ya, secepat itu. Mungkin alasannya saya sudah putus asa. Entahlah, sejati atau masih selagi. Tetapi saya harap begitu, dengan pilihan nomor satu.

Profil Penulis:
email: 99.ledytriananda@gmail.com
all id: ledytriananda

Advertisement

Iklan Sidebar