PHOTOGRAPH
Karya Warnengsih
Cinta yaitu mencar ilmu mengikhlaskan. Ketika itu umurku gres menginjak angka enam tahun, saya menangis alasannya yaitu terjatuh dikala mencoba menaiki sepeda baruku, ayah yang belikan. Saking semangatnya ingin mengendarai sepeda BMX keluaran 1990 berwarna biru, warna kesukaanku, saya lupa jika saya belum mahir mengendarai sepeda. Aku tidak mengindahkan permintaan bunda di belakangku, mengejarku dengan tergesa-gesa menyuruhku untuk menunggunya. Aku berlari ke halaman depan sambil mendorong sepeda baruku. Tak sabar ingin berada di atasnya, dengan sedikit meloncat sadel berwarna hitam itu berhasil kududuki. Satu kakiku sudah siap di atas pedal dan kaki yang satunya lagi berusaha cukup keras untuk tetap menginjak tanah.
Seruan bunda berubah dari cemas menjadi histeris dikala saya menekan pedal dan sepedaku meluncur ke depan dengan singkat, alasannya yaitu setelahnya sepeda itu sudah oleng dan ambruk ke tanah. Aku jatuh dengan posisi kaki kiriku yang tertindih tubuh sepeda. Aku menangis kencang sekali, lututku berdarah dan saya benci itu.
Bunda membopongku kemudian mendudukanku di teras, sehabis itu dia pergi ke dalam rumah untuk mengambil peralatan P3K miliknya. Aku masih menangis ketika ayah duduk di sebelahku. Ia mengelus kepalaku sambil berkata,
“Jagoan ayah nggak boleh nangis dong.”
Aku masih ingat betul bagaimana lembutnya belaian ayah waktu itu, dan senyuman yang terukir di wajahnya menciptakan kerutan di ujung bibir dan matanya semakin kentara. Senyuman itu masih terasa hangatnya walaupun kala itu saya melihatnya dengan mata berkaca-kaca alasannya yaitu air mata yang menggenang. Bibirku seketika tertarik dikala kenangan itu membanjiri seluruh isi kepalaku. Foto anak laki-laki yang sedang menyeringai lebar di atas sepeda BMX keluaran tahun 1990 berwarna biru itu memang agak lusuh, akhir terlalu usang berada di dalam dompet kulit yang keadaannya juga tidak jauh beda. Tapi kenangan yang tersimpan di dalamnya masih terasa sejelas dulu. Seperti gres kemarin terjadi. Nyata dan hangat. Jagoan ayah.
“Mas Rayyi jadi pulang malam ini?” tanya Dea membuyarkan lamunanku, gadis sembilan belas tahun yang sudah setahun ini menjadi karyawan magang di perusahaan surat kabar ibukota tempatku bekerja.
Aku mengangkat kepalaku membalas tatapan Dea dari balik layar komputernya. “Ya, jika Pak Tama nggak nyuruh saya buat ngerevisi kerjaan kau lagi.” Kulihat Dea mencebikkan bibirnya dan bergumam tak terperinci sambil kembali bergumul dengan tombol-tombol keyboardnya.
Dea yaitu ajun redaktur, membantuku menyunting naskah. Sebenarnya pekerjaanku yaitu seorang reporter senior. Tapi berhubung mbak Loli, salah satu redaktur senior di sini, sedang ambil cuti hamil jadi saya yang ditugaskan sementara menggantikan mbak Loli untuk menjadi pembimbing Dea. Saat umurku delapan belas tahun saya melamar ke kawasan ini sebagai reporter. Setelah dua tahun bekerja Pak Agustaf Pratama, pemimpin redaksi kami, menaikkan pangkatku menjadi seorang redaktur. Tapi hanya bertahan setahun kemudian saya meminta kembali menjadi reporter. Pekerjaan menyunting naskah sama sekali tidak cocok denganku yang tidak pernah betah duduk diam. Aku senang berkelana, terjun pribadi ke lapangan mencari info dan yang paling membuatku cinta terhadap pekerjaan ini yaitu saya sanggup mengabadikan wajah-wajah kehidupan dengan kameraku. Menangkap momen-momen langka yang mungkin tak akan sanggup kujumpai setiap hari. Itu lebih menantang dibandingkan hanya menatap rangkaian karakter seharian. Lagipula saya tidak terlalu arif memberi judul.
“Kita cuma beda lima tahun, tapi kau berhasil menciptakan saya merasa sudah sangat tua. Terima kasih.”
Terdengar bunyi cekikikan Dea. Kemudian kepalanya kembali menyembul dari balik layar komputernya. “Bukan bau tanah Mas, tapi dewasa.” Seloroh Dea. Aku mendengus mendengar ucapannya tadi. Susah memang menciptakan Dea mengubah kebiasaannya memanggil saya dengan sebutan ‘Mas’. Sejak awal dia masuk kerja saya sudah menyampaikan padanya cukup panggil Rayyi saja tapi dia malah menolak dengan alasan kesopanan. Tapi dikala kuberikan opsi lain ibarat ‘Kakak’ dia malah tertawa, katanya tidak cocok dengan wajahku yang sangat kejawaan. Apa maksudnya coba?
“Ih, mas Rayyi mentang-mentang senior bukannya kerja malah termenung mulu.” Tiba-tiba Dea sudah bangkit melongok ke arah meja kerjaku.
“Suka-suka dong. Kerjaanku udah beres dari tadi, emangnya kamu.” Ucapku tanpa menatapnya. Sibuk mengatur isi dompetku yang tidak mengecewakan berantakan. Kembali menyimpan foto kecilku, menyelipkannya di belakang foto ayah dan bunda.
“Itu foto orang tuanya mas Rayyi, ya?” Dea menunjuk foto hitam putih yang ada di dompetku, menampilkan ayah dan bunda ketika masih berumur dua puluhan. Foto berlatar belakang rumah nenek di Semarang itu diambil seminggu sehabis ijab kabul ayah dan bunda.
“Mirip nggak?” iseng-iseng saya bertanya, menarik keluar foto itu dan meletakkannya di samping wajahku.
Dea mencondongkan tubuhnya ke depan kemudian membenarkan letak kacamatanya, memandang saya dan foto itu bergantian, menilai.
“Gantengan si Om-nya,” jawabnya enteng kemudian kembali duduk. Ck, anak ini.
“Ditanya apa jawabnya apa,” gumamku kesal, merasa tersinggung sekaligus jengkel. Kulihat Dea hanya memasang cengiran lebarnya ibarat singa yang sedang menyeringai.
Aku kembali menatap foto hitam putih itu. Memandang lekat sosok ayah dan bunda di masa lalu. Senyuman bunda masih sama dari dulu hingga sekarang, aura keibuannya sudah terlihat semenjak muda. Bunda memang perempuan jawa yang anggun dan bersahaja. Pantas saja ayah pernah berkata padaku jika dia beruntung mendapatkan bunda. Diantara laki-laki yang menyukai bunda, hanya ayah yang berhasil menyunting bunda menjadi istrinya. Kisah percintaan mereka begitu romantis ya? Tiba-tiba saya tersenyum getir, sesak itu kembali datang.
Bunda pernah bilang cinta itu yaitu mencar ilmu mengikhlaskan. Karena kita tidak sanggup selamanya mempunyai orang yang kita cintai. Seberapapun besarnya rasa cinta itu. Di dikala umurku dua belas tahun, saya gres mengerti arti dari setiap rintihan bunda di malam-malam lalu, tangisnya dalam diam, mata dan hidungnya yang selalu berubah merah setiap selesai sholat, yang setiap kali kutanya bunda selalu menjawab dengan alasan yang sama; sedang flu. Aku gres mengerti, bukan flu yang menciptakan mata itu selalu mengeluarkan air mata. Tapi alasannya yaitu ayah.
Ayahku, idolaku semenjak kecil. Lelaki yang selalu kubanggakan, lelaki yang kuanggap lebih andal dari super pendekar manapun. Lelaki yang kupikir lebih menyayangi bunda dibandingkan saya hingga membuatku selalu cemburu. Lelaki yang ternyata hanyalah insan biasa.
![]() |
| Photograph Karya Warnengsih |
Lelaki yang kulihat menangis di hadapan ibu sambil tak henti mengucapkan kata maaf. Lelaki yang mengabarkan bahwa dirinya mempunyai rumah yang lain. Bahwa ketidakhadirannya beberapa waktu kemudian alasannya yaitu dia mempunyai tujuan pulang yang lain. Bukan alasannya yaitu proyek yang belum selesai atau terjadi kecelakaan kerja yang membuatnya harus menunda kepulangannya. Lelaki itu yaitu ayahku.
Bunda tahu hal itu sudah usang tapi dia hanya memendamnya sendirian. Tidak ingin membebani saya atau siapapun, termasuk ayah. Bunda berusaha mengikhlaskan cintanya terbagi asal ayah tetap bersama kami. Tapi sekali lagi, ayahku hanya insan biasa. Hatinya tak lagi menjadi milik kami. Bahkan tak separuh hatinya pun milik bunda lagi. Akhirnya ia pergi. Memutuskan untuk selamanya meninggalkan Jogja dan menetap di Palembang bersama keluarga barunya. Ayahku pergi meninggalkan saya dan bunda dengan sejuta kenangan di rumah kami.
Aku memang tak sekuat bunda yang bahkan tak menangis dikala ketukan palu itu mengesahkan perpisahannya dengan ayah. Aku memang tak mempunyai hati yang besar untuk mengikhlaskan, ibarat bunda yang dengan tulus mendoakan kebahagiaan ayah dan keluarga barunya. Untuk beberapa waktu amarah itu menyelimuti hatiku ibarat kepompong. Membuatku patah hati untuk pertama kalinya. Menjadi anak yang tidak diinginkan, pikiran itu selalu membayangiku. Membuatku benci dengan diriku sendiri, benci dengan ayah, benci dengan keluarga barunya yang telah merebutnya dariku. Super heroku.
Cinta yaitu mencar ilmu mengikhlaskan. Kata-kata bunda dikala saya tak sanggup berhenti menangis di hari kenaikan kelasku, pertama kalinya saya tak melihat ayah duduk di bangku penonton di samping bunda. Membawa Digital Camera-nya dan merekam aksiku di atas panggung. Sampainya di rumah saya pribadi masuk kamar dan menangis sepuasnya. Menumpahkan seluruh amarah dan kekecewaan yang sudah usang kupendam. Dengan sabar bunda memelukku sayang mengelus punggungku lembut, menenangkanku. Sambil terus berkata, mengajakku mengobrol walau saya tak pernah sekalipun menyahutinya.
“Jodoh, rezeki, dan matinya setiap insan sudah ada yang mengatur. Mungkin kita sanggup merubah nasib tapi tidak dengan takdir. Jodoh ayah dan bunda mungkin hanya hingga di sini tapi cinta kami berdua untuk kau akan terus tumbuh mengikuti setiap pedoman darahmu. Cinta kami akan tetap infinit ibarat kenangan yang tersimpan di sebuah foto. Selamanya akan membeku dan tak akan kemana-mana.” Lalu bunda menunjukkan foto hitam putih itu. Bercerita dengan wajah berseri-seri perihal program pernikahannya yang hampir berserakan alasannya yaitu ayah terlambat datang. Terjebak macet waktu itu, kata bunda.
“Ingat ya sayang, Rayyi nggak boleh benci sama ayah alasannya yaitu selamanya ayah akan tetap menjadi ayah kamu. Walaupun sosoknya tidak ada di erat kita. Kan, masih ada bunda, masa Rayyi nggak suka bareng sama Bunda?”
“Rayyi suka, kok, bareng Bunda.”
“Bunda juga sukaaaaa sekali bareng Rayyi. Bareng sama Rayyi pun udah cukup bagi Bunda. Rayyi, kan, jagoannya Bunda juga jadi jangan nangis lagi ya,” Jagoannya Bunda.
“Enak ya punya kampung halaman sanggup mudik.” ucap Dea tiba-tiba. Lagi-lagi membuyarkan lamunanku.
“Memangnya orang bau tanah kau nggak ngajakin mudik?” tanyaku sambil membereskan isi dompetku.
“Aku, kan, orang kota mana punya kampung halaman.” Jawaban Dea menciptakan saya ingin menjitak kepalanya.
“Waktu sahur kau makan apa sih De, nyebelin banget hari ini.” Gerutuku.
“Hehehe,,,,becanda deh Mas sensi amat. Aku lahir di Jakarta, papa sama mama juga orisinil sini. Kakek sama nenek tinggal di Kebayoran. Nggak salah dong jika saya bilang gitu.” Ucapnya membela diri.
Aku tidak menanggapi ucapan Dea, kembali termenung sambil memandangi foto saya dan bunda yang terbingkai frame persegi berwarna biru di atas meja kerjaku. Foto yang diambil ketika saya lulus wisuda tiga tahun yang lalu. Pertama kali bunda kembali tersenyum bahagia. Ketika itu bunda tiba bersama pamanku, Pakde Ridwan. Walaupun terbilang sudah tidak muda lagi, bunda masih terlihat bagus dan segar menggunakan setelan kebaya berwarna putih dan rambut panjangnya yang mulai beruban tertata rapi dalam bentuk sanggul.
Wajahnya berseri-seri sepanjang acara, namun bunda tidak lagi sanggup menahan air matanya ketika namaku dipanggil dan naik ke atas panggung untuk mendapatkan tanda kelulusanku. Tangis haru itu masih berlanjut dikala saya sudah berada di hadapannya, menampilkan senyuman terbaikku. Bunda memelukku erat sekali, membisikkan kata syukur berulang kali. Mengatakan betapa bahagianya ia sanggup melihatku berbalut toga ibarat sekarang. Dan di simpulan pelukannya ia menyampaikan kalimat yang hingga dikala ini selalu berhasil membuatku tersenyum geli dikala mengingatnya. Bunda bilang, kesannya dia sanggup membalas ibu Linda, salah satu tetangga kami, yang selalu pamer ke bunda perihal anaknya yang kuliah di luar negeri. Tapi hingga kini belum lulus juga padahal saya dan anak bu Linda satu angkatan sewaktu SMA. Aku dan Pakde nyaris tak sanggup menahan tawa kami dikala bunda mengatakannya dengan wajah serius.
Tanpa sadar saya terkekeh sendiri mengingat bencana itu, saking asyiknya saya hingga tak sadar jika Dea tengah memperhatikanku. Aku tidak menghiraukannya, mengalihkan pandanganku ke arah jam di tanganku. Pukul 16.01 WIB. Lewat semenit. Ini semua gara-gara Dea percuma saya diperbolehkan pulang duluan jika masih ada waktu ekstra yang kuhabiskan untuk berdiam diri di ruangan ini. Walau hanya satu menit. Pendingin ruangannya terasa lebih hambar dari biasanya, niscaya kerjaan Dea lagi. Dea masih menatapku penuh selidik ketika saya sedang memasukkan barang-barangku ke tas, berkemas-kemas untuk pulang.
“Apa?” kesannya saya bertanya. Saking risihnya ditatap ibarat itu terus menerus oleh Dea. Tatapan mata Dea lebih menggangu dibandingkan dengan udara hambar di ruangan ini.
Dea mencondongkan tubuhnya lagi ke depan, sepasang mata di balik lensa cembung itu memicing ke arahku. Kerutan di dahinya bertambah ketika ia bertanya, “Mas Rayyi sehat?”
Sekarang dahiku yang berkerut mendengar pertanyaan Dea barusan, “Maksud kau apa sih, De?”
“Kalau ngerasa nggak lezat tubuh sebaiknya ditunda aja mudiknya, daripada nanti di jalan ada apa-apa. Aku khawatir nanti Mas di turunin dari bus sama pak sopirnya alasannya yaitu mengganggu kenyamanan penumpang lain.” Jawab Dea panjang.
“Mengganggu kenyamanan penumpang lain? Memangnya saya kenapa?”
“Nggak ada yang sanggup jamin, kan, mas Rayyi nggak cengengesan sendirian kayak tadi lagi.” jawab Dea setengah serius.
“Wah, mulai ngelunjak nih anak satu. Kamu mau bilang saya nggak waras gitu,” seruku murka mulai sadar maksud Dea sebenarnya.
“Dea nggak punya rencana bilang gitu kok, tapi Dea takut orang lain sanggup berpikiran ke arah situ. Dea benar-benar khawatir.” Ucapnya kalem.
Aku mendengus sebal, gres saja saya akan membalas ejekannya pintu ruangan terbuka. Wajah Pak Tama menyembul dari balik pintu.
“Kamu masih belum pulang, Ray? Bukannya hari ini mau pulang kampung ya,” tanya Pak Tama.
“Ini udah mau cabut Pak eh, si Dea pake minta program perpisahan segala. Takut kangen katanya.” Jawabku yang dibalas permintaan tak terima dari Dea.
“Hah, kalian ini ada-ada saja. Oh ya Dea, info buat besok pagi udah selesai di edit?” tanya Pak Tama.
Kulihat Dea gelagapan, “Eh, i-iya Pak sedikit lagi selesai.”
“Pak, berdasarkan saya Bapak harus memperpanjang kontrak magang Dea lagi deh, kayaknya Dea belum siap jadi karyawan tetap di sini.”
“Ih, mas Rayyi apaan sih, bohong Pak jangan dengerin apa kata mas Rayyi. Mas sana gih pergi entar ditinggalin busnya loh.” Seru Dea sambil menggoyang-goyangkan tangannya ke depan.
“Dih, ngusir.”
“Kalian ini udah kayak Tom and Jerry aja ya, untung nggak pake cakar-cakaran.” Ucap Pak Tama.
“Dasar Jerry.”
“Mas Rayyi tuh yang Jerry, saya mah Tom.”
“Dih, pilih-pilih lagi.”
“Sudah-sudah, pusing saya liatin kalian berantem mulu. Dea nanti jika udah selesai bawa ke ruangan saya ya. Dan kau Rayyi sebaiknya kau pulang sekarang, jangan hingga ketinggalan travel.” Ucap Pak Tama melerai perseteruan saya dan Dea.
“Iya Pak, terima kasih. Saya pamit dulu.” Ucapku sambil menjabat tangan PemRed-ku ini.
“Oh iya, jangan lupa oleh-olehnya.” ucap Pak Tama.
“Beres Pak.”
“Buat Dea juga ya Mas!” seru Dea dari kawasan duduknya.
“Jangan harap.”
“Ih, pelit!!!”
Cinta mungkin sanggup terasa menyakitkan, cinta mungkin sanggup terasa sangat sulit. Tapi bukankah itu semua yang menciptakan kita merasa lebih hidup? Aku juga mungkin sanggup tersakiti suatu dikala nanti, tapi saya percaya Bunda akan selalu menungguku kembali pulang. dan menyembuhkan semua luka yang kudapatkan. Karena cinta bunda ibarat kenangan dalam sebuah foto. Tersimpan selamanya di sana. Membeku dan tak akan kemana-mana. Wait for me to come home, Bun.
END
Profil Penulis:
saya penyuka novel bergenre fantasi tapi paling susah jika disuruh bikin dongeng fantasi sendiri. gak pernah tuntasin film bergenre detectiv alasannya yaitu males dan keburu bosen nebak-nebak.
Advertisement
