SATU PELAJARAN
Karya Hastarika Purwitasari
“Eric. Cowok jangkung, cakep, pinter, keren lagi. Masak kau nggak tertarik De?” tanya Della padaku ketika kami mengerjakan kiprah matematika di rumahku.
“Nggak, ah. Aku mau fokus sama pelajaran aja” jawabku sambil menghitung jawaban matematika. Sebenarnya bukannya nggak tertarik sih. Dia sanggup mengerjakan soal matematika dan fisika secepat kilat tanpa kalkulator, juara olimpiade jadi langganannya, dan idola anak basket satu sekolah pula. Dia melakukannya semudah membalikkan telapak tangan, ahli sekali. Entah terbuat dari apa otaknya itu. Membuatku sedikit iri, tapi disisi lain beliau juga yang membuatku semangat belajar.
“Beneran nie, cih, akal-akalan nggak tertarik. Hmmm, ya udh berarti tentangan saya berkurang. Minggu depan, saya mau nembak si Eric. Aku nggak sanggup bayangin kalo jadi pacarnya” kata Della sambil cengar-cengir sendiri.
“Hey, kau pikir cuma kau yang yang suka dia, saya juga suka beliau tau. Aku yang mau nembak beliau duluan” kata Fia tiba-tiba dengan muka sedikit cemberut.
“Hmm, tentangan saya nambah satu” Della mendesah.
“Haa, nembak Eric? Cewek nembak..” kataku belum selesai ngomong tapi udah dipotong sama Della.
“Sekarang ini udah bukan zamannya lagi cewek nunggu. Cewek harus maju. Cewek yang harus nembak cowok. Bener gak Fia?” potong Della.
“Iya, buener banget” jawab Fia meyakinkan sambil mengacungkan jempolnya.
“Kalian ini, udah lah jangan mikirin beliau terus, kerjakan kiprah matematikanya agar cepet selesai” kataku pada mereka.
“Iya, iya, kau ini..”
*
Waktu istirahat saya dan Fia jalan di koridor.
“Dea..Huua..” Della berjalan menghampiriku dan Fia. Aku melihat matanya bengkak.
“Kenapa, kau ditolak?” tanya Fia.
“I-ya, haaa..”katanya terputus-putus dengan air mata di pipinya.
“Ya ampun, Della.”Aku memeluk Della yang sedang menangis.
“Hmm, sudah saya duga akan jadi menyerupai ini” kata Fia.
“Dea, kau tahu nggak apa yang Eric bilang? Dia bilang saya jelek. Huaaa..emang bener ya?”
“Della, udah-udah ya, sabar. Kamu gak buruk kok” kataku menenangkan Della.
“Aku juga, waktu saya nembak beliau kemarin. Dia bilang saya bodoh. Dia itu benar-benar berlidah ular” kata Fia.
Aku nggak terima sahabatku diperlakukan menyerupai ini. Aku nggak nyangka si otak kalkulator ternyata benar-benar...
*
![]() |
| Satu Pelajaran Karya Hastarika Purwitasari |
Saat pulang sekolah di parkiran kurang jelas saya mendengar “Apa alasannya yaitu saya buruk kau nolak aku?” tanya bunyi cewek. ”Iya, menyerupai yang kau bilang” jawab si cowok. Aku lihat cewek itu nangis, menutupi wajahnya kemudian berlari. Setangkai mawar dijatuhkannya. Dibelakangnya ada sesosok manusia. Manusia itu...
“Hey, Eric, berhenti” tapi beliau masih tetap berjalan. Apa suaraku kurang keras?
“Aku bilang berhenti” suaraku agak keras. Eric membalikkan badannya. Dan akhirnya..
“Hei, kau memanggil namaku. Kamu kenal aku?” tanyanya. Aku melangkah mendekatinya.
“Kamu bilang bahwa sahabatku jelek, kau juga bilang sababatku bodoh, asal kau tahu ya walaupun kau setampan pemain film korea dan bakir tingkat yang kuasa kau ini sombong tingkat langit”.
“Lalu?” tanyanya santai. Benar-benar menyebalkan.
“Kamu suka menghina orang, berbuat semaumu dan menciptakan semua cewek menangis dihadapanmu seenaknya. Pasti kau puas. Kalaupun mau nolak cewek, setidaknya kau nolak baik-baik. Memangnya kau ini siapa?” saya melanjutkan.
“Benarkah? Ooh, saya setuju. Apa kau sudah selesai bicara?” katanya sambil tersenyum. Ia kemudian berjalan menghampiriku dengan santai. Aku mundur dan terus mundur dan alhasil punggungku bersandar tembok erat parkiran. Lalu, tangan kanannya diluruskannya ke depan, mendorong tembok, erat pundakku. Aku jadi gugup. Mata coklatnya menatap mataku, mukanya berubah serius.
“Asal kau tahu ya.." Suaranya melembut, jantungku berdebar. "Aku tidak bilang mereka buruk atau bodoh, saya hanya bertanya dan mengulangi penyataan mereka. Aku nggak sanggup mendapatkan mereka, kau tahu kenapa?”
Aku membisu membeku, hanya mendongak dan menatap matanya yang berubah tajam itu.
“Karena mereka yaitu apa yang mereka pikirkan. Menganggap diri mereka udik dan jelek. Selalu menyerupai itu. Mereka nggak mau menghargai diri mereka sendiri, terus gimana mereka sanggup menghargai orang lain?”
Eric kemudian menurunkan tangannya, berbalik, dan pergi menjauh. Aku tidak percaya. Aku bahkan tidak menyadarinya selama ini. Tapi kini saya tahu. Aku mendapatkan satu pelajaran darinya. Ah tidak, dua. Menghargai diri sendiri dan saya adalah... apa yang saya pikirkan.
Profil Penulis:
Saya Hastarika, yang selalu mencoba untuk menuangkan apa yang ada di kepala saya menjadi tulisan.
Advertisement
