Gara-Gara Iseng Karya Kashikawa Yuto

Info Populer 2022

Gara-Gara Iseng Karya Kashikawa Yuto

Gara-Gara Iseng Karya Kashikawa Yuto
Gara-Gara Iseng Karya Kashikawa Yuto
GARA-GARA ISENG 
Karya Kashikawa Yuto

Ceritanya dulu waktu saya umur 32 tahun dan sudah mapan (memiliki segala halnya) saya mulai merasa sendiri. Para sobat kantor tempatku bekerja selalu meledek saya dengan pertanyaan “kapan nikah? Kapan? Kapan? Dan kapan?” , itu yang mereka selalu sindirkan kepadaku. Tapi tak apalah mungkin belumlah ada yang cocok dengan hatiku. Hingga suatu hari saya mempunyai duduk masalah dan saya coba sharing ke jejaring FB perihal masalahku itu, dari situ akibatnya saya mengenal seorang perempuan idamanku, namanya Octavia (28). Dia ini selalu menanggapi dan mengarahkan pemecahan masalahku dari pikiran yang gelap seolah menuntunku ke seberkas cahaya. Aku mulai menyukainya dan mencoba untuk mengutarakan perasaanku padanya via FB , tapi ternyata tak semulus kelihatannya... 

Singkat kata kami bertemu dan bercengkerama beberapa ketika di sebuah perbelanjaan akrab alun-alun kota malang. Dia menolak perasaanku dengan alasan masih ingin ini dan itu dan masih belum ingin terikat dengan arti kata ijab kabul itu sendiri. Aku hanya mengiyakan saja, ditambah lagi dia tidak ingin kehilangan beberapa ribu follower FB nya alasannya ialah keterikatan kita itu. Dia meninggalkanku begitu saja, penolakan perasaan dengan halus tepatnya.

Selang beberapa waktu perasaan hatiku nampak terbersit terang dari pancaran wajahku, itu terbukti dari teguran sobat kantorku, sebut saja Roy(33).

“Aih, Fadil kenapa kamu? Muka udah ditekuk-tekuk macam kertas kusut gitu? Ga baik tuh buat kesinkronan kerja di kantor kita itu”
“Anu...aku sedang ada duduk masalah nih Roy, tapi ini soal si diaku”
“Halaaah...paling cinta bertepuk sebelah tangan gitu bukan? Ga usah sok serius gitu juga kale”
“Maksud kamu?”
“Eh Fadil, saya ada materi pertimbangan untukmu nih...”

Roy mengutarakan padaku bahwa dia mempunyai sebuah cara semoga cintaku tidak bertepuk sebelah tangan lagi, ...dukun...itu yang dia bicarakan kepadaku. Mulanya saya masih ragu atas resiko nantinya, takut akan segala sesuatu nantinya yang akan menimpaku belakangnya. Tapi nampaknya anganku mengalahkan segalanya, akibatnya meluncurlah kami hari jum’at kliwon ke sebuah tempat desa di Gadang. Kami melangkah memasuki bilik ruang sempit tempat aki-aki dukun berada.

“Jadi kau yang namanya fadil?”
“I..iya mbah, saya fadil”
“Masalah asmara ya? ada fotonya?”
“A..ada, tunggu sebentar mbah”

Syarat dari aki-aki dukun itu ialah foto yang menunjukkan seluruh tubuh dari atas hingga bawah tak boleh terpotong sedikitpun oleh frame atau efek lensa apapun itu, bahagialah Fadil ketika itu alasannya ialah sanggup melihat sebuah foto yang diperlukan dari kumpulan unggah foto via HP di FB milik Octavia tersebut...

“Nah, ini mbah fotonya”
“Ada benda tunjangan darinya?”

Fadil mengingat sebuah sapu tangan pink yang terjatuh ketika Octavia menolak cintanya, segera dia menyerahkannya.

“Eh..ini mbah”
“Ada nama terangnya?”
“Aduh itu dia mbah, saya hanya tahu dia berjulukan Octavia”
“Oh tak apa lah, ini saja sudah cukup”

Maka segeralah aki-aki dukun tersebut bekerja dengan khasnya. Dibakarlah dupa wangi, mengkremasi kemenyan, tujuh bunga rupa dan mulailah mulutnya komat-kamit mengucap mantra yang tidak saya mengerti maksudnya.

“Sudah selesai, besok kau akan lihat hasilnya”
“Terima kasih mbah, ini upah yang saya janjikan”
“Eit! Tapi ingat ya! ada resikonya!”
“Loh, tapi mbah, kan duitnya sudah”
“Jangan salah paham ya anak muda, sepakat upah ini untuk aku, tapi resiko ini ialah dari perewangan makhluk ghaib yang akan bantu kamu, paham!”
“I, , , iya mbah”

Singkat kisah ialah saya berjumpa kembali secara tak sengaja dengan Octavia di tempat singosari, kami mulai menyapa, mengobrol dan semakin hari semakin akrab hingga terjadi sesuatu yang tidak saya inginkan. Aku melanggar larangan aki-aki dukun, saya menaruh hati sepenuhnya kepada Octavia dan menikahinya.

Sejak malam pertama hilanglah guna-guna si aki-aki dukun, terbukti menyerupai apa yang dia sebutkan. Malam pertama terasa amat sangat hambar, dia tidur membelakangi saya sambil sering menangis. Itu terjadi hingga tiga bulan lamanya. Hingga suatu hari saya coba kuatkan hati untuk utarakan niatku padanya...

“Octa, kita kan sudah menikah selama sekian bulan, jadi boleh tidak saya memulainya?”
“Eh! pergi kau! Jangan coba dekat-dekati aku, saya sendiri juga tak habis pikir sihir apa yang kau lakukan padaku hingga ortuku mau menyetujui ijab kabul ini, laknat kamu!”
“Tapi..tapi kan kita sudah menikah..”
“Hah! Menikah dan itu maumu, tapi bukan mauku, kau kan tahu kata-kataku dulu kan? Aku tak mau terikat dengan ijab kabul menyerupai ini, tapi entah mengapa kini ini saya dan kau sanggup menyerupai ini, setan kamu!”

Akhirnya bulan demi bulan kita lalui dengan romantis yang hanya bohong belaka. Beberapa tahun pun berlalu dan orang renta kedua pihak mulai mencicipi ada keganjilan dengan rumah tangga kami termasuk mengapa hingga kini belum juga hamil atau menawarkan tanda kehamilan sedikitpun. Secara gamblang Octavia bercerita perihal semua yang menimpanya dan ketidak tahuannya soal ijab kabul kami sanggup terjadi tanpa dia sadari. Kedua orang renta kami mencoba meredam amarah Octavia namun pada akibatnya mengalah juga, alhasil kita berdua berpisah.

Masa kelamku tak hingga disitu saja, adalagi masa kelam saya ternyata alasannya ialah saya melanggar dan akibatnya berpisah nampak jin perewangan yang membantuku mulai menampakkan apa yang dia mau, ibu kandungku, orang yang teramat berarti dalam hidupku direnggutnya. Orang tuaku yang tersisa hanya ibuku dan akibatnya dia menjadi tumbal keisenganku untuk memikat Octavia dan alasannya ialah ketololanku pula Octavia lari meninggalkanku.

Gara-gara Iseng Karya Kashikawa Yuto

Rasa murung yang teramat menghimpit dada membuatku menangis terus menerus jikalau mengingat kepergian ibuku hari itu. Pamanku Soleh (46) mencoba menghiburku dan bersedia untuk memberi perhatian pengganti sebagai pesan peninggalan ibuku. Paman Soleh ini ialah guru di madrasah kota malang, dia teramat telaten untuk menangani suatu duduk masalah semoga gampang dan menerima jalan keluarnya. Tapi dalam masalah saya ini dia hampir menyerah, itu pun mungkin alasannya ialah kesedihan saya yang terlampau menghimpit dada ini.

Hari pertama saya selalu sedih, hari kedua selalu menangis jikalau teringat ibu saya pergi, begitu juga hari ketiga, keempat hingga hari ketujuh. Tapi pada hari kedelapan saya mulai tak murung lagi alasannya ialah ada hal yang membuatku cukup tenang. Melihat kesedihanku yang sudah hilang paman Soleh ingin mengutarakan niatnya untuk menggelar tahlilan dirumahku pada hari kesepuluh nanti (10 harinya meninggalnya ibuku). 

“Nak, paman akibatnya senang kau sanggup beraktifitas menyerupai semula lagi. Paman Soleh ini mau menggelar tahlilan di rumahmu ini pada hari kesepuluh nanti, , bolehkah nak?”
“Oh tentulah boleh paman, lagian saya sudah tak apa-apa kok”
“Maaf soal simpulan hidup ibumu itu..”
“Ah paman bicara apa sih nih, ibu ga kemana-mana kok, dia selalu sekat denganku, tiap saya tidur ibu selalu tiba untuk menenangkanku”

Paman Soleh pun berlalu begitu saja sehabis menerima klarifikasi dariku. Pikir paman oh mungkin Fadil sedang bermimpi soal ibunya setiap dia tidur, pantaslah dia kini sanggup lebih tegar. Itu yang dipikirkan oleh pamanku, tapi (K)...ketahuilah itu bukan mimpi....

Pada hari ketujuh saya sedang nangis sesenggukan di kamar sambil memeluk-meluk foto ibundaku di kamar...

“Ibu...Ibu...maafkan Fadil Ibu...Fadil ga ada niat untuk mengorbankan Ibu untuk keisengan Fadil Ibu...Fadil anak yang durhaka Ibu...Ibu...hiks”

Tiba-tiba muncul bunyi menyerupai bunyi Ibundaku dari balik jendela kamarku...

“Fadiiil.....Fadiiiil....Anakku....Bukalah jendelanya...”

Rasa rindu akan ibuku menciptakan langkah dan rasa tanyaku mantap sekali untuk membuka jendela kamarku malam hari itu, kalau tidak salah malam itu ialah malam suro.

“Tunguu ibu, Fadil akan buka pintu jendelanya”
“Cepatlah nak, Ibu kedinginan diluar sini nih”
“Iya Ibu, tunggulah”

*KRIEEET (suara daun pintu rumah telah kubuka)

Malam itu bundaku menemaniku tidur sambil terus mengusap keningku hingga saya tertidur, sebelum saya tertidur Ibundaku berpesan bahwa dia akan selalu tiba malam ketika saya hendak akan tertidur dan memanggilnya kembali. Oleh semenjak itu kesedihanku hilang pada hari kedelapan hingga ketika itu tiba...

Tahlilan mulai diselenggarakan jam tujuh malam, semua akseptor tahlilan begitu antusias membaca surat demi surat bacaan tahlil. Hatiku dongkol dan menjadi panas sekali, rasanya ingin sekali saya kembali tertidur dan menyambut Ibundaku melalui jendela kamarku lagi, tapi jikalau begini, suasana ramai begini bagaimana saya sanggup terlelap tidur. Entah apa yang kulakukan saya segera membuka pintu kamarku dan memaki-maki para akseptor pengajian Tahlil tersebut.

*BRAKK!!! (suara pintu kamar yang kubanting keras)

“Heh!!! Kalian ini tidak tahu apa saya ingin tidur kini ini, janganlah berisik, saya sedang menanti ibuku tiba tahu!!!”

Dari kerumunan akseptor yang menjadi gugup tiba-tiba Paman Soleh mencoba menenangkanku.

“Nak Fadil, istigfar nak. Ibundamu sudah meninggal sepuluh hari kemudian kan, tawakal nak, tawakal”
“TIDAK!! IBUKU TIDAK MATI!!! TIAP MALAM Ibuku selalu tiba ketika saya tertidur untuk menenangkanku, ibuku tidak mati, siapa bilang ibuku mati?! IBUKU TIDAK MATIII!!!!”
“nak terimalah kenyataan ini, ini sebuah kerikil sandungan dalam hidup kamu, semua yang mati akan berkumpul di alam sana dan tidak kembali lagi, ibumu tak akan sanggup hidup lagi nak fadil”

Dari sudut tengah muncullah Pak Haji Kusaini(62) yang merasa ada ketidak beresan pada diriku. Beliau memerintahkan semoga lima orang menjepit ibu jari jempol kedua kakiku, memegangi kedua tanganku dan memegangi leherku semoga tetap ditanah, pada ketika itulah...  

“Hai Fadil sadarlah kau nak, dia ialah pamanmu, tak patut lah kau ucap hal itu lantang-lantang kepada pamanmu itu”
“Fadil? Fadil? Tak ada itu yang namanya Fadil...AAAAHAHAHAHAHAHA”
“Lantas siapa dalam tubuh ini sekarang? Apa urusan kau menempati jasad nak fadil ini? Enyah kau”
“Eh Pak Haji ini, tak sadarkah bapak? Jika bukan alasannya ialah jasa saya yang menyamar menjadi sosok ibu nak Fadil ini, bagaimana mungkin nak Fadil ini sanggup tenang dari kegundahan hatinya...AAAHAHAHAHAHAHAHA”
“Hei jin atau apalah nama kamu, sebaiknya kau segera enyah, pergi jauh-jauh dari tubuh nak Fadil ini, Pergi!!!”
“yakinkah kau ingin saya pergi, jikalau begitu nanti nak Fadil ini akan kembali galau dan akan menarik jin-jin lain kedalam sukmanya pak haji, biarkanlah saya berdiam dalam tubuh nak Fadil ini selamanya semoga nak Fadil tidak galau lagi...AAAHAHHAHAHAHA”
“Jin Laknatullah....”

Pak Haji Kusaini segera mengambil air putih, membacakan doa ayat suci dan menyemburkannya ke wajahku, dan ketika saya kembali siuman dia meminumkanku sisa air baca-bacaan tadi kepadaku. Selepas itu Pak Haji menceramahiku sambil sesekali memijit-mijit jari jempol kakiku. 

Semenjak saya mendengar apa yang dikatakan Pak Haji Kusaini maka saya tak lagi ingin menangisi sesuatu yang telah tiada, saya harus berguru merelakannya. Karena yang telah hilang tak akan kembali lagi dan menangisi yang tiada ialah sesuatu yang sia-sia belaka. Paman Soleh benar, ini ialah satu tahap kerikil sandungan yang harus kulalui untuk mendewasakan diriku. Selamat jalan Ibundaku dan semoga engkau tenang di alam sana.

SEKIAN.

Hikmah dari kisah diatas ialah :

1. Tak baik berbuat iseng
2. Pikirkan efek kedepan atas sikap kita
3. Relakan yang telah tiada
4. Akan ada kerikil sandungan yang harus dilalui tiap insan selama dia hidup.

Profil Penulis:
Nama Asli : Arif Rudy Saputra
Nick FB : Kashikawa Yuto
Alamat FB :https://www.facebook.com/#!/profile.php?id=100009344609100

Advertisement

Iklan Sidebar