Bolehkah Ku Tarik Kata Benci Itu? Karya Ici

Info Populer 2022

Bolehkah Ku Tarik Kata Benci Itu? Karya Ici

Bolehkah Ku Tarik Kata Benci Itu? Karya Ici
Bolehkah Ku Tarik Kata Benci Itu? Karya Ici
BOLEHKAH KU TARIK KATA BENCI ITU?
Karya Ici

Sang mentari mulai karam dengan semburat merah yang manis. Langit mulai gelap, namun sanggup ku lihat bintang-bintang yang berkelap kelip. Hati ku gundah, menunggu sang rembulan yang tak kunjung muncul di balik awan. 

Tak jenuh mata ini memamdang, hingga alhasil sang fajar menyadarkan ku. Sang rembulan tak tiba malam ini. Malam telah berlalu, pagi telah menjemput. 

Lingakaran hitam di sekitar mata ku terlihat seram. Tak ingin ku melangakahkan kaki ku dari balkon atap rumah ku. Hanya memandang ke bawah, menanti sang pujaan hati. 

Ku menyesal, rasa sesal telah menjauhinya. Kini ia semakin jauh, bahkan ia terus memdorong ku menjauh. Setiap malam ku nanti sang rembulan hanya untuk mencurahan hati ku, sehabis di setiap sujud ku tentunya. 

Dulu, ia selalu lewat di bawah sana. Menatap ke atas, menatap ku dan memperlihatkan senyum nya untuk ku. Aku sering tersipu aib oleh senyum nya. Namun, gadis itu, gadis yang mempunyai paras manis itu, gadis yang kadang-kadang ku lihat beriringan dengan nya, menciptakan ku sakit. 

Tak sanggup lagi ku tahan rasa sakit itu, hingga di hari itu, ketika ia tersenyum menatap ku.. Aku menatap orang lain, saya tersenyum untuk orang lain bukan untuk nya. Lambat tapi pasti, jarak telah memisahkan kami. Takdir perpihak pada jarak yang memisahkan, tak ada lagi salam sapa lembut dari nya. Tak ada lagi sebuah senyuman manis yang menyambut pagi ku. 

Ku semakin akrab dengan orang lain itu dan ia semakin akrab dengan perempuan lain yang berada di depan rumah ku. Sering mata ini perih di buatnya, dan sesak nafas ini menahan tangis yang selalu ku pendam. 

Sedikit riasan wajah melekat di wajah ku, mencoba menutup lingakaran hitam dan wajah putih pucat ku. Ingin ku hirup udara segar dan menyegarkan isi kepalaku. Aku tau, semua akan baik baik saja, waktu masih berpihak pada ku, saya masih mempunyai waktu untuk melupakan nya. Melupakan segala rasa sakit ini, saya hanya perlu menutup mata ku, menarik kedua ujung bibir ku ke atas... 1... 2... 3... Lalu buka mata perlahan...

*deg* 

Jantung ku berhenti berdetak untuk beberapa saat, mata ku dengan nya bertemu, senyum ku memudar, mata ku kembali terasa perih, ia berpaling dari tatapan ku.

"Ayo pergi" 
"Kemana?" 
"Ya kemana mana haha" 

Dapat ku dengar suaranya dengan jelas, iris mata nya yang melirik ku dengan tajam. Tawa nya yang hambar menghilang seiring langakah kaki nya yang menjauh dari ku bersama perempuan itu..

Ku tarik nafas ku dalam dalam, mencoba menghilangakan sesak. Kembali tersenyum ketika air mata ku mengalir begitu saja. Dengan cepat ku hapus air mata ku dan kembali melangakah kan kaki ku yang sempat terhenti. 

Seperti orang tersesat, saya hanya memutar di daerah yang sama. Hingga...

"Hey, ngapain di sini sendirian? Ntar kerasukan loh"
"Ahaha, jangan nakut-nakutin deh kak..." saya tersentak, namun sedetik kemudian saya segera tertawa, tawa yang hambar. Dia yakni orang yang menciptakan ku memalingakan senyuman ku... Bukan dari hati yang tulus, namun karna sebuah rasa keterpaksaan.
"Beneran tau, dari pada sendiri mending dengan kk" 
"Ppfft" 
"Ciee senyum, gitu dong kan cantik"
"Eleh"
"Iya beneran tau, semua-"
"Stop. Iya kak, saya tau apa yang akan kk katakan..."
"Ciee hingga hapal apa yang akan kk katakan"
"Idih.. Hahaha"
"Bentar, kk beliin ice cream dulu ya" 
"Gak usah kak"
"Kakak beli untuk kk sendiri kalau gitu. Kamu di sini aja jangan kemana mana" 

Belum sempat ku menjawab nya, ia pergi meninggalkan ku. Akhirnya saya menentukan untuk duduk di bawah pohon yang tak jauh dari daerah ku bangun tadi. 

"Kemana pangeran mu?" hawa cuek menyelimuti ku, bunyi bass nya menciptakan ku merasa dunia ini berhenti berputar untuk beberapa saat.
"Pangeran? Ah, saya tau yang kau maksud. Dia di sana" ucap ku dengan seulas senyum
"Sering berduaan sekarang" sanggup ku rasa cuek nya ucapan nya walau sanggup ku lihat senyum di wajah nya. Belum sempat ku menjawabnya, ia tiba menghampiri
"Weh bro, lo disini? Dengan siapa? Cewe lo? Atau pacar nya si a itu? Hahaha"
"Apaan sih, sendiri"
"Lo sendirian? Mitos terbesar itu"
"Sebenarnya pengen ngajak seseorang, tapi gue dah keburu telat bro" ucapnya dengan gelak tawa dan di akhiri dengan lirikan tajam nya yang ia hadiah kan untuk ku.

Bukan lagi senyum dan salam sapa hangat yang ku sanggup kan. Kini hanya cuek yang ku dapatkan, dari hati dan sikap. Dapat ku rasakan segalanya. 

Hanya karna sebuah senyuman itu kah? Tapi kenapa? Ini aneh, saya tidak sanggup mencernanya. Ini terlalu sulit untuk di cerna. Aku butuh waktu, atau, mungakinkah ia membenci ku? Merasa muak? Atau mungakin bosan akan segala perilaku ku yang tak kunjung cukup umur dan sering menyusahkan nya?

Ia bilang akan pergi, ia bilang akan segera pergi. Aku senang, karna ku pikir, dengan kepergian nya ku kan sanggup melupakan nya. Namun sekarang, saya sangat takut kehilangan nya... 

Ia akan pergi, dan saya tak sanggup menyampaikan betapa takut nya saya kehilangan nya. Ia berharga untuk ku, saya tidak meminta banyak, saya hanya ingin tetap bersamanya... 

Tanpa pamit, saya pergi meninggalkan mereka berdua. Melangakahkan kaki tanpa tujuan. Hingga malam mejemput, saya masih berkeliaran. Tak ada tujuan, hanya mengikuti setiap langakah kaki ku. 

Sepanjang perjalanan, saya terus terngiang kata-kata nya yang akan pergi. Pertemuan tadi, membuatku dengan nya saling bicara dan saling menatap, saya senang, ini mengobati rindu di hati ku. Namun sesal yang ku sanggup ketika ku dengar ia akan pergi. Rudi, lelaki yang akrab dengan ku, dan irvan, lelaki yang merenggut hati ku tanpa sisa. 

Irvan menyampaikan pada rudi, bahwa ia akan segera pergi meninggalkan kota ini. Kota ini terlalu pahit untuk nya, ada sebuah luka yang tak sanggup di sembuhkan... 

"Luka....?" 
"Siapa yang terluka?" saya tersentak, ia di sini...

Aku tak menjawab, bibir ku bungakam. Mata ku kembali terasa perih, saya hanya menatap dalam matanya. Tajam matanya menghilang, kelembutan itu kembali hadir. Namun sanggup ku lihat bingakai kesedihan di wajahnya...

Bolehkah Ku Tarik Kata Benci Itu? Karya Ici

Tanpa sadar, tangan ini terulur... Menyentuh wajah nya, mengusapnya dengan lembut, hingga setetes air mata ku yang tak sanggup ku bendung mengalir...

Ia meraih tangan ku, menggenggam nya dengan erat.

"Bolehkan ku ucapkan maaf?"
"Aku sangat membenci mu" 

Air mata ku kembali mengalir, kini ia menghapus air mata ku. Menatap dalam manik mata ku.

"Aku awal nya tidak tau, sungguh"
"Maksud mu?"
"Hati mu..."

Aku melongo kembali, ingin segera ku berlari dari hadapan nya  aku ringkih untuk hati ku, ku mohon jangan remukan hati yang telah retak ini....

"Bukan maksud ku memberi harapan, bukan maksud hati ku melukai mu. Sungguh ku ucapkan bahwa hati ini tertarik akan diri mu. Namun, jujur ku katakan, bahwa saya tidak pantas meraih mu"
"Atas dasar apa kau menyampaikan ini?"
"Bibir ku terus berucap manis, bibir ku terus tersenyum, namun ku tak sadar bahwa setiap kata manis dan senyun ku terus menggores hati mu" 
"Van...."
"Aku jatuh hati dengan mu, ku sadari itu ketika senyum mu berpaling dari ku. Namun, saya telah mempunyai nya yang lebih dulu ku kenal. Jika saja, kau lebih dulu hadir dalam hidup ku, ku pastikan, hingga simpulan nafas ini akan menjadi milik mu"

Pertahanan ku runtuh, saya menangis. Tak ku tauhi dari siapa ia mengetahui perasaan ku yang terpendam. Sesak yang ku rasa alhasil terlepas. Leher ku yang terus mencekik nafas ku kini di penuhi isak tangis ku. Ia terdiam... Ku tarik nafas panjang, dan menghembuskan nya begitu saja. Menghentikan isak tangis yang pecah.

"Aku tau kau tak mencoba memberi harapan, saya tau kata manis mu bukan hanya untuk ku. Tapi jujur ku katakan, hati ini luluh akan diri mu. Kau berbeda, kau berhasil menggoda ku yang kosong. Aku berterima kasih, dan saya minta maaf..."  ucap ku menatap nya.
"Hentikan tangis mu, karna ku tak akan lagi sanggup menghapusnya. Hentikan rasa mu untuk ku, karna ku tak pantas untuk mu. Hentikan semuanya dan ku mohon katakan kau membenci ku selagi lagi, dan ku pastikan saya akan menghilang selamanya..."
"Kan ku hapus air mata ku dengan kedua tangan ku. Kan ku hapus rasa ini dari mu. Tapi tak akan ku katakan kata benci itu untuk mu."
"Kumohon..."
"Mintalah hingga air lautan mengering... Ketika lautan mengering, kan ku katakan apa pun yang ingin kau dengar dari bibir ku" ia terdiam
"Ku tak tau dari mana kau mengetahui perasaan ku yang sebenarnya. Tapi saya berterimakasih untuk nya, alhasil saya terbabas. Pergilah bila kau ingin pergi, rasa ini telah ku lepaskan." 

Kembali ku melangakah, dan air mata yang sempat terhentipun kembali menetes. Malam itu menjadi malam terakhir saya bertemu dengan nya. Jarum jam terus berputar, 3 bulan telah ku lewati. 

"Hel.."
"Hm?"
"Tau gak alasan irvan pergi?"
"Tidak"
"Sebenarnya, saya tidak ingin menyampaikan ini"
"Apa sih kak?"
"Maukah kau bertemu irva untuk terakhir kali nya?"

Suara rudi serak, mata nya memerah. Raut wajah kesedihan terlihat dengan jelas. Ingin ku menolak ajakanya, takut rasa itu kembali hadir dan lebih besar dari ketika ini. 

Lama ku melongo menatapnya, hingga alhasil saya hanya menganggukan kepalaku. Rudi segera menggenggam erat tangan ku, sepanjang perjalanan rudi hanya terdiam, tak ada satu kata pun yang ia ucapkan, dan tangan terus menggenggam. Tangan nya terasa dingin, sangat dingin...

"Ngapain kesini?!?" saya terkejut, perasaan ku menjadi tak karuan... Rasa takut menyelimuti. Rudi tak menjawab, ia lepaskan genggaman tangan ku dan turun lebih dulu dari kendaraan beroda empat nya. 

Aku masih di daerah yang sama, saya tak ingin keluar dari kendaraan beroda empat ini, tapi rudi malah menarik tangan ku dengan paksa biar saya keluar dari kendaraan beroda empat nya. Ntah kenapa, mata ku terasa perih

"Kak, abang lepasin! Bodoh! Imi sakit kak!!"

Dia terus menarik ku, seakan tak mendengar apapun dari ku. Hingga alhasil ia melepaskan tangan ku. Air mata ku eksklusif menetes, mengalir dengan deras. Begitu banyak yang ingin ku katakan, namun tak satupun karakter sanggup ku ucapkan.

"Maaf, saya menyembunyikan ini"
"....."
"Aku tau kau akan sedih, tapi tak benar rasanya bila kau tak mengerahui kebenaranya..."
"Kak... Kakak bohong kan... Hiks, kak... Katakan kalau abang berbohong hiks, kakak..."  

Aku tersungakur, jatuh, tak sanggup ku tumpang badan ku. Aku menggenggam gundukan tanah itu. Aku terus terisak dan memohon biar kak rudi menyampaikan semua ini tidak benar, bahwa semua ini hanyalah kebohongan.

"Tak ada kebohongan dalam kematian"

Aku menggeleng, saya tak ingin mempercayainya. Irvan gak mungakin meninggal, ini hanya nama dan tanggal lahir yang sama. Ini bukan irvan, saya berdiri...

"Di hari itu, ketika kau pergi meninggalkan kami berdua..."

#flashback

"Gue akan pergi"
"Mau kemana sih bro?"
"Ke daerah yang jauh bro"
"Etdah, kemana sih? Lagian ngapain lo pergi? Nyari selingakuhan? Hahaha" 
"Gila, ya gak lah. Ada luka yang gak sanggup gue sembuhin"
"Lebay ih, semua luka itu niscaya sanggup di obati" irvan menatap rahel yang menundukan kepala nya kemudian pergi begitu saja tanpa pamit. Waktu rudi akan menyusul rahel, irvan menahanya.
"Biarin ia pergi"
"Lo tu gimanq sih?!??"
"Gue kenapa?"
"Lo ini emang beg* atau apa? Apa lo gak tau kalau si rahel itu sayang banget dengan lo ha?!?"
"Sayang? Bukanya ia suka nya ke lo?"
"Gue dah punya tika, dan tika itu sahabatnya. Lagian ya, dulu ia yang jodohin gue dengan tika. Ya walau ia gak pernah bilang perasaan nya yang sebenarnya, gue tau kok dari tatapan dam perilaku nya"
"Tapi...."
"Dia cemburu dengan kedekatan lo dan tetangga depan rumahnya. Apalagi dengan cewe lo. Dah cukup ia sakit hati lo buat"
"Rob, gue sanggup minta tolong gak?"
"Apaan?"
"Sebenarnya, lusa gue akan menjalani operasi. Gue ada sebuah penyakit, gue gak akan bilang penyakit apa itu. Tapi kalau operasi itu gagal, gue minta tolong banget, lo jagain ia ya... Jujur, gue sayang banget dengan nya. Gue selama ini ngindari ia karna gue rasa gak pantas, tolong lo perhatiin setiap cowo yang mendelatinya. Gue harus pergi. Please ya bro" 

#flashback_end

"Awalnya gue gak ngerti, tapi gue tersadar waktu nyokap irvan nelpon gue. Nyokap nya bilang kalau irvan udah gak ada, dan ia minta gue untuk segera tiba ke rumah nya. Gue gak ada kepikiran untuk ngasih tau ke lo waktu itu, dan waktu gue hingga di sana. Nyokap nya nitipin ini ke gue. Ini untuk lo hel..." 

Tangan ku bergetar, perlahan ki buka secarik kertas yang terlihat masih bagus...

"Dear my angel, kalau kau udah baca surat ini... Aku yakin kita telah di dunia yang berbeda...

Kamu ingat kan kata terakhir mu, bahwa kau akan menghapus air mata mu dengan kedua tangan mu dan menghapus rasa mu untuk ku...

Makasih ya^^ saya benar benar merasa senang ketika kau menolak menyampaikan kata benci untuk ku, saya sayang banget sama mu...

Hah... Jika saja bukan rudi, niscaya surat ini ketika telah lama bahkan hampir tak sanggup di baca gres deh di kasih ke kamu..

Ckck, ia bukan penyimpan diam-diam yang baik jhaha.

My angel, rahel ku yang manis... Kau yakni yang terindah. Kau tau? Kau orang pertama yang menciptakan ku murka akan penyakit ku, ku ingin hidup lebih lama dan berada di sisi mu. Namun tuhan seakan tak mendengar, tuhan tak ingin saya dan kau bersama. Takdir dan jodoh mu bukan lah diri ku, saya tau dan saya sadar. Kau gadia yang baik, bahkan orang bau tanah ku sempat ingin mengajukan lamaran dengan orang bau tanah mu jhaha....

Gilq, dah capek ni tangan nulis, udah ya, jangan nangis lagi, saya gak benar benar pergi kok, saya masih ada di hati kau kok^^ love you my angel^^ "

Ku peluk erat surat dari nya, semakim sesak yang ku rasa. Aku juga menyayangi mu, sebuah kalimat yang terus terucap di hati dan bibir ketika ini.

Tak ku sangaka, ia juga mempunyai rasa yang sama. Hanya saja ku mengetahuinya ketika ia telah pergi... 

Mungakin di dunia ini tak berjodoh, tapi siapa yang tau bila di nirwana kaulah jodoh ku. Tak ada satupun yang tau apa yang akan terjadi. 

Kenapa dulu ku memalingakan senyum ku? Kenapa dulu kata benci itu terucap? Boleh kah ku cabut kata benci ku untuk mu? Karna benci itu bekerjsama tak pernah ada untuk mu, yang ada dari dulu hingga sekarang, saya mencintaimu... Dan dari hari ke hari, cinta ku terus membesar...

Rudi membawa ku dalam pelukan nya. Membiarkan nya lembap akan air mata ku. Semenjak hari itu, saya hanya bekerja, mencari kesibukan. Ku kubur cinta yang ada bersama irvan. Aku akan menghampiri mu, dan ketika hari itu tiba, ku harap kau tidak akan mendorong atau menolak ku lagi. 

Profil Penulis:
Ici, 18 tahun, cewe^^
Ku harap akan ada yang menyukui dongeng ini, dan ada yang berkomentar memberi tanggapan^^
Chee ichei < my fb^^
Advertisement

Iklan Sidebar