SI MISKIN DUNDAI
Karya Benny Hakim Benardie
Abah Si Miskin Dundai duduk diberanda gubuk reot tengah Negeri Bengkulu. Deburan ombak sayup terdengar membisik telinga, seakan mengirim pesan kias singkat.
“Wahai Abah Si Miskin Dundai, hatamlah tembok tebal kemiskinan itu. Angkat arai terendam setinggi-tingginya, biar derajat hidup berubah”.
Abah sosok dewasa yang selalu optimis dalam menjalani hidup. Berbagai pelosok di Negeri Bengkulu kala itu sudah di jajakinya. Terik matahari di Tahun 1918 tak dihiraukannya. Hitam kulit anak lelaki itu biasa, namun bila lelaki takut hitam, takut kotor itu luar biasa. Hitam kulit menandakan kerasnya usaha Abah Si Miskin Dundai. gelar Abah itam
Ayah Abah hanya seorang guru Sekolah Rakyar Sunga Padu di zaman Belanda. itupun acap kali Sang Ayah berpindah-pindah mengajar sampai ke kawasan beringin Lubuk Linggau terus hijrah ke Krui lampung. Mencari sesuap nasih untuk menghidupkan anak istri.
Acap kali Abah melantukan sair-sair tatkala malam menjelang, untuk menghatar lelap matanya yang tak kunjung mau terkatup. “Si Miskin Dundai, Pulutlah Aku, Si Miskin Kidang Dawai, Terebang Tinggi”, lantun syair Abah sampai bulan naik sepenggal kepala.
Tahun gelap 1929. Sisa mentaliteit kolonial masih tertanam di pimpinan negeri kala itu. Abah terus bergerak mencari kehidupan. ‘Arai terendam’ itu harus saya angkat tingi-tinggi”, pikir Abah ketika pagi sebelum berangkat ia sempat menoleh gubuk reot beratap rumbia.
Saat bismillah melangkahkan kaki, tersentak Abah melihat paman dan keluarganya dari Batavia melintas di pinggir gubuknya.
“Eh paman sekeluarga, gres datang, singgah paman. Ayah sama Emak ada di dalam”, ujar Abah yang dikiranya Sang Paman akan mampir.
Teguran itu tak digubris, pamannya yang terus berlalu meninggalkan Abah. Sembari berlari kecil kedalam gubuk, Abah memberitahukan ayah dan Emaknya. Bergegas Ayah dan Emak Abah menyusul kakaknnya yang katanya menjadi pejabat negeri di Negeri Batavia. gres beberapa menit, Ayah dan Emak sudah kembali. Abah yang membatalkan pergi mencari rezeki bertanya pada ayahnya, info pamannya itu.
“Abah, mungkin pamanmu tadi itu lagi letih atau lagi ada keperluan mendadak. Sekarang coba duduk di bale bambu, Ayah mau cerita”, panggil Ayah, dan tampak Emak pribadi ke bernafsu (kamar mandi dari bambu di belakang rumah) belakang gubuk, untuk kembali meneruskan memasaknya.
Pituah
Pagi itu adik-adik Abah tampak sibuk membantu Emaknya, sementara kakak-kakaknya sudah fajar menyinsing pergi mencari penghidupan menyerupai biasa.
Dengan mata berbinar, Sang Ayah kembali memberi masukan prinsip-prinsip hidup kepada Abah. Hanya Abah yang acap kali di beri motiovasi oleh ayahnya, alasannya yaitu selain satun, semenggah, Abah sosok anak yang menjadi tulang punggung keluarga dalam aneka macam urusan. Sementara ayah dan Emaknya mulai memasuki usia senja.
“Ayah, saya pergi dulu, ada yang mau beranak di kawasan tengah padang”, kata Ema, pamit mau menolong orang melahirkan. Emak memang ringan tangan, sering membantu orang melahirkan, alasannya yaitu itu orang menyebutnya Emak dukun beranak.
“Ya, jangan lupa ke singgah ke Pasar Bengkulu kerumah Amnah untuk ambil ikan pesanan kemarin”, tegur Ayah yang lagi duduk bersama Abah.
“Abah”, panggil Ayah menciptakan keget Abah yang sempat terdiam melihat Emaknya berlalu pergi.
“Saya Ayah”, jawab Abah sembari melihat Ayahnya memegang sebila rotan dan memukulkannya ke atas batu.
“Kita ini di negeri yang bekerjsama makmur. Hanya saja kita sendiri yang tidak memiliki harta benda menyerupai orang-orang yang sempat bekerja pada Belanda dulunya. Sebenarnya Ayah banyak mau bercerita pada kau Bah”, terang Ayah yang tampak matanya berbinar-binar.
“Ceritakanlah Ayah”, Jawab Abah menanti kisah Ayahnya yang hanya seorang guru kecil di Sekolah Rakyat.
Berdiri Ayah dari bale bambunya. ” BIla Ayah dan emak tidak ada lagi nanti, kau jaga adi dan abang mu. Angkat Arai terendam itu setinggi-tingginya. Naikan derajat dan martabat keluarga. Salah satu paman kandung enggan singgah ke gubuk kita, alasannya yaitu kita miskin. Meskipun kita juga tak mau harga diri kita diinjak orang berharta dengan kemiskinan ini”, cetus Ayah.
Seperti mengerti Abah menundukan kepala. ” Iya Ayah”.
“Jalani hidup ini menyerupai apa kau mau hidup. Jangan banyak melamun, nanti kita gila. Kalau kita gila, orang akan tertawa. Susah tidak hidup ini tidak usah diajar, kaya itu kita belajar” terang ayah dengan bunyi yang mulai serak.
Bila kau suatu ketika memang terdesak dalam hidup kata Ayah, tabrak dinding tebal di depan yang menghalangi mu itu. Meskipun kau tahu dinding tidak akan jebol. Tapi paling tidak kau masih punya harapan.
![]() |
| Si Miskin Dundai Karya Benny Hakim Benardie |
Bergolak
Tahun 1938, dibebagai pelosok negeri situasi politik mulai memanas. Berbagai orang pergerakan atas nama agama, pribadi sampai ingin membentuk negara sendiri dan terlepas dari kungkungan penjajah, kian bergolak.
Tak jauh dari rumah Abah, terdengar kabar ada tokoh politik yang juga orang pergerakan di buang Belanda ke Negeri Bengkulu, yang dikenal Negeri Orang-Orang Rantai ini.
Tahun itu sebuah Bank kebetulan mendapatkan Abah menjadi pegawai bank. Dari situlah sepertinya ‘Arai terendam’ itu mulai terangkat, walaupun belum tinggi. Perkenalan dengan tokoh politik yang di asingkan oleh Belandapun berlanjut.
aneka macam pengalaman seni dan budaya diperoleh, meskipun ketika itu Abah dewasa berusia 22 tahun, namun sudah cukup terpandang, alasannya yaitu seorang pegawai bank.
“Satu lagi pesan Ayah, dalam berkawan, jangan pernah berkhianat. Biarlah suatu diam-diam pertemanan itu pecah diperut, asal jangan pecah dimulut. Jangan sesekali punya prinsip, biarlah kepala kenai luluk (lumpur) asal tanduk masuk”, kata Ayah yang sekarang kian tampak uzurnya, meskipun jiwa pendidiknya tetap menempel di dalam benaknya.
“Perju diingat”, terang Ayah, tak selesai juga teruis mencari uang, jikalau tak ada gadis keinginan disampingpun.
“Sudah terpikirkan ayah. Tapi sekarang saya harus ke pembinaan dari kantor ke Pulau Jawa, Batavia pekan depan”, jawab Abah yang caranya mulai diplomatis.
Dikawinkan
Di Bataviia, Abah menerima telegram dari Ayahnya, jikalau dirinya akan di kawinkan oleh seorang gadis Minang Kabau berjulukan Caiya. tawaran itu diterima meskipun ia di Pulau Jawa, perkawinan dilangsungkan dengan wali. Baru beberapa bulan berikutnya, Abah pergi ke Minang Kabau menyusul isterinya tersebut.
Ternyata Gadis yang dikawinkannya itu benar-benar membawa hokki dirinya, dengan memberikannya 13 orang anak. Kehidupan dengan usaha barupun mulai bergulir. Semetara adik abang Abah sekarang sudah mulai tumbuh dewasa dan hidup dengan aneka macam profesi, memperjuangan ‘Arai Terendam’ sanggup terangkat setinggi-tingginya.
Perjalanan dan temuan hidupun terus bergerak rupanya. abang dan adik Abah rupanya sudah sukses di Batavia. Dua anak Abah di boyong ke Batavia untuk dilanjutkan sekolahnya sampai menjadi sarjana. Kepercayaan penguasa di Tahun 1950 menciptakan Abah dan keluarga hijrah ke Tanjung Karang, Lampung.
Tak begitu lama, Abahdi pindahkan kiprah ke Palembang, maklumlah sekarang dirinya duduk sebagai pegawan negeri, di bidang penyambung pengecap pemerintah.
Lika-liku hidup memang tak sanggup diterka. Abah harus berangkat kiprah sendiri, sementara anak bininya harus hidup di Tanjung Karang, dengan hidup apa adanya. Untung saja, bini Abah sanggup menjahit pakaian, sehingga sanggup bertahan hidup, sementara suami mengabdi di Negeri Palembang.
Secara psikis atau abjad keluarga Abah, tak ubahnya menyerupai keluarga Abah ketika dirinya masih kecil. Sejarah itu kembali terulang.
“Ah….Tapi mungkin sudah begitu jalan hidup dan kehendak Tuhan”, ketika memikirkan kehidupan yang dijalaninya, sembari sumbringah.
“Tak Untung Dirundung Malang” begitulah judul kisah Sutan Takdir Alisyahbana. Mungkin menyerupai itu juga yang ada di dalam benak Abah, sampai dirinya dan keluarga di satukan kembali hinggga simpulan hayatnya di negeri Bengkulu. Arai terendam itu sekarang terangkat sebahu, digenerasinya yang ke tiga masa 90-an.
Profil Penulis:
Penulis dan Jurnalis tinggal di Kota Bengkulu
Advertisement
