Pantulan Senja Di Liuk Serayu Part I Karya Harni Haryati

Info Populer 2022

Pantulan Senja Di Liuk Serayu Part I Karya Harni Haryati

Pantulan Senja Di Liuk Serayu Part I Karya Harni Haryati
Pantulan Senja Di Liuk Serayu Part I Karya Harni Haryati
PANTULAN SENJA DI LIUK SERAYU PART I
Karya Harni Haryati

Di petang yang cerah, sepasang muda-mudi asyik bercengkrama di tepi jembatan kereta. Keduanya duduk menjuntaikan kaki ke bawah. Sambil sesekali kaki perempuan berayun pelan di udara.

Seorang lelaki menyuap cenil--yang merupakan jajanan tradisional Nusantara berbahan dasar singkong--merah muda ke verbal kekasihnya. Di tangannya ada cenil warna-warni serupa pelangi terbungkus daun jati.

Dia mengudap cenil hijau dengan taburan gula pasir dan parutan kelapa di dalam kunyahannya. Manis, gurih dan legit bersatu padu memanjakan pengecap cowok itu.

"Apa warna cenil yang gres saja kumakan, Mas?"
"Merah muda."
"Kenapa merah muda?"
"Karena itu cocok untukmu. Warna merah muda cukup mewakili dirimu yang lembut lagi menawan. Anggun dengan sifat khas kewanitaan yang penyayang."

Seruni menunduk. Pipinya bersemu merah. Entah darimana kekasihnya mencar ilmu melancarkan jurus godaan maut. Seruni tak mengerti.

Di bawah jembatan, mengalir sungai serayu meliuk-liuk dengan air yang tidak deras. Tenang. Batu-batu hitam besar berdiam mematung hayati fatwa arusnya.

Senja berlayar menepi pada permukaan air sebening beling terbias hijau berangsur-angsur tercampuri jingga keemasan bersama pantulan pijar matahari bundar.

Pun biru langit berkolaborasi dengan bagus warna senja. Menyemburat tipis bukti dari kemesraannya.

Kendaraan ramai lalu-lalang sesaki jalan di kelok menuju kota Purwokerto. Sesekali gemuruh kereta melintas di jembatan panjang sebelum datang di Stasiun Kabasen.

"Mas Bima... seindah apa senja itu?" Mengalun halus bunyi Seruni kolam putri keraton Yogyakarta.

Bima--Abimanyu lengkapnya--menoleh. Dipandanginya wajah ayu kekasihnya. Serupa kaca, bola mata Seruni berbinar-binar jernih diterpa mentari sore. Tiada yang lebih indah dari memandang orkestra senja pada manik hitam bidadarinya. Kerling cinta--begitu Bima menyebutnya.

"Seindah dua hati yang bertemu pada titik rasa...cinta,"

Terkagum-kagumlah Bima pada paras menawan Seruni. Lebih-lebih bayu berembus bandel dari arah selatan menerbangkan helaian panjang rambut Seruni-nya.

Tangan cowok itu bergerak menyelipkan helaian surai di pendengaran Seruni. Menyingkirkan pengganggu pemandangan indahnya.

"Ceritakan lebih detil, Mas. Aku ingin melihat senja walau hanya dalam bayang saja."

Bima mengangguk. Diraihnya tangan Seruni yang lebih kecil dari tangannya. Dikaitkannya jemari lentik dengan jemari kokoh miliknya. Hangat. Kebersamaan memang selalu terasa menyenangkan ketimbang sepi yang bergumul dalam hening.

Pantulan Senja di Liuk Serayu part I Karya Harni Haryati

"Pejamkan matamu,"
"Kenapa?" Seruni memandang lurus ke depan. "Aku membuka dan menutup mata pun rasanya... sama saja. Tiada beda. Gelap." Alisnya turun.
"Beda, Seruni," Bima mengeratkan genggaman. "Lakukan saja apa yang kukatakan."

Kali ini Seruni menurut. Dia tak menginterupsi. Disembunyikan manik hitam di balik selimut kelopak matanya.

Giliran Bima memandang langit menakjubkan. Bersih dari gumpalan mega yang menggantung manja padanya. Lazuardi berjingkat pergi. Digantikan kencana berkilau kemerah-merahan.

Mata Bima menajam. Kian dipertegas penglihatannya. Berupaya mengirim citra yang ditangkap indranya pada Seruni. Bima semakin berkharisma dengan gurat seriusnya. Ketampanannya ditopang rahang yang kokoh.

Bibir Seruni terangkat ke atas. Membentuk segaris lengkungan. Seolah ia ikut menyaksikan senja, walau terang Bima yang melihatnya. Berkat hati yang menyatu, keduanya seakan terhubung. Apa yang dirasakan pasangannya seolah dirasakan yang satunya juga.

"Indah, Mas. Aku menyukainya. Persis menyerupai dirimu." Paras Seruni melembut. Sorot matanya meneduh.
"Kenapa?"
"Iya, senja berubah menjadi dalam dirimu. Kalian sama. Selalu menciptakan pasang mata terpukau dengan diamnya. Namun, di situ letak sisi romantisnya. Tanpa banyak kata...keduanya mengatakan cinta dengan cara sederhana." Kekata indah serupa penyair ternama terangkai dari bibir gadisnya.

Panas menjalari pipi Bima. Ia malu. Wajahnya memerah. Apa Seruni dendam karena dirinya sempat menggodanya dan sekarang membalasnya habis-habisan?

Namun yang jelas, petang ini Seruni menyanjung Bima sampai makin besarlah cinta tumbuh untuknya. Dia merasa berharga. Beruntung, Bima tidak mempunyai sayap. Bila ada, mungkin beliau akan terbang ke langit ke tujuh.

***

"Hiks hiks hiks"

Seruni kecil berjongkok di tengah lima orang anak tanggung yang megerumuninya.

"Ye, cacat, ye. Jalan aja pakai tongkat kayak nenek renta renta!" Salah seorang diantaranya mengejek fisik Seruni.

Sakit. Seruni tak kuasa melawan. Dia tak berdaya berhadapan dengan lima orang anak normal.

"Hei, bila berani jangan sama anak perempuan, dong! Sini, lawan saya bila betul-betul lelaki!" teriak lantang seorang anak pria yang kebetulan lewat di jalan yang diapit kebun kelapa sawit.

Anak-anak berandalan itu berang. Mereka geram menjabani tantangan bocah lelaki yang berusia 10 tahun.

-Bersambung-

Profil Penulis: -

Advertisement

Iklan Sidebar