KENANGAN DALAM HUJAN
Karya Elalia
Saat hujan turun biasanya saya duduk di depan jendela memperhatikan titik hujan itu turun hingga ketanah. Aku suka udara ketika hujan,sejuk...menyejukan. Membawa sejuta kenangan masa kemudian yg pernah kualami dulu,seakan itu gres terjadi kemarin. Membuat dia seakan masih ada di sini,di sampingku bersamaku. Hujan membuatnya begitu nyata, begitu indah kadang pula begitu sesak dan menyiksa.
Aku menghela napas. Mataku terpejam mencicipi kehadirannya kemudian sadar bahwa itu hanya khayalku. Tanganku mengangkat segelas teh di depanku kemudian menyentuhkannya ke verbal dan memimumnya,hangat terasa menjalar ke selurah badan kecuali hatiku. Hatiku memang sudah usang dingin. Sakit yg begitu dalam membuatnya menentukan untuk tak mencicipi cinta lagi.
Cinta? Bukan itu bukan cinta. Entah,aku tak tahu apa nama perasaan itu. Dan saya rasa lebih baik untuk melupakan rasa itu. Untuk apa?untuk apa saya masih menyimpan perasaan itu?perasaan yg hingga kini tak terungkapkan hingga dia pergi. Kadang saya berpikir bisakah saya kembali ke ketika saat indah itu?
Aku ingin bisa bersama dengannya lagi.Kenangan kenangan itu terasa begitu nyata,sangat terang di benakku raut wajah lelahnya ketika harus berlarian dari gerbang sekolah ke kelas ketika terlambat,beribu alasan ia lontarkan biar diizinkan masuk pelajaran oleh pak Abdul.
"Pak saya tadi sudah berdiri pagi tapi adik saya minta bantuin bikin pr,jdi saya terlambat."
"Oh begitu?Kalau kau bisa membantu adikmu mengerjakan prnya,berarti kau juga seharusnya sudah mengerjakan pr mu nak?"
"Mmmmemangnya ada pr pak?"
"Ya,saya memberi kiprah untuk menciptakan laporan hasil pengamatan praktekh terakhir.”
"Aaah iya saya ingat,laporan saya ketinggalan pak.Karena terlalu sibuk bantu adik,laporannya masih di atas meja blm saya masukkan ke tas."
"Kalau begitu lebih baik kau kembali ke rumahmu ambil laporan itu,berikan pada saya.Kalau bisa bawa juga orang renta mu."
"Kok bawa orang renta ya pak?lagian bolos saya udah banyak pak saya takut kalo pulang lagi,saya janji besok laporannya saya kasih ke bapak.”
"Ya sudah membisu di sini,mungkin udara di luar lebih baik untukmu daripada udara di kelas bapak.”ucap pak abdul ketus sambil menutup pintu kelas meninggalkan Bima yg masih mencoba merangsek masuk kedalam kelas.
Aku tersenyum melihat bima melompat lompat untuk mengintip materi yg sedang pak abdul tulis di papan tulis. Sebenarnya apa sih yang dia lakukan tiap malam hingga susah sekali untuk berdiri pagi?tanyaku dalam hati.Pelajaran pun berlalu dengan hening tanpa Bima,sampai jam istirahat dia gres bisa masuk kelas.
"Shan,kamu ke kantin ga?"tanya bima
"Mau,kenapa emang?"balasku
"Titip nasi kuning bu yayu dong,aku belum sarapan nih dan kini saya mau ngerjain kiprah laporan pak abdul.Boleh?"pintanya sambil menyerahkan beberapa lembar uang lima ribuan padaku
"Oh iya sini gapapa."
Itu juga salah satu kebiasaan jelek nya,tidak pernah sarapan pagi.Aku sudah sering mengingatkannya bahwa sarapan pagi itu penting untuk kesehatan juga untuk meningkatkan konsentrasi kita ketika berguru tapi tidak juga ia lakukan.
"Sarapan di rumah itu ga lezat Shan,gak ada kamunya.”bisiknya ketika saya selesai menjelaskan pentingnya sarapan beberapa hari lalu.Aku tertawa mendengarnya
"Udahlah gak usah mancing mancing,ga mempan saya sama rayuan murahan macam itu."
"Ini beneran Shan,semua masakan jadi pahit kalo gak ada kamu.Soalnya kau kan penyedap alami buat aku." Tawaku semakin lebar mendengarnya.
Setiap jam istirahat lebih banyak saya habiskan di kelas dengan mengobrol ihwal apapun bersama Bima. Semenjak kami naik kelas 3,Bima jadi jarang bergaul dengan sahabat sahabat cowoknya yang kebanyakan dari kelas sebelah.Biasanya mereka menghabiskan jam istirahat dengan main bola di lapang olahraga tapi kini dia lebih sering berada di kelas.
Katanya"Lagi males panas panasan aja di luar,lagian kan kita udah kelas 3 Sekolah Menengan Atas udah saatnya kita buat fokus berguru kan mau UN.”jelasnya ketika saya menanyakan perubahannya.
Aku tidak terlalu mempermasalahkan perubahannya lagipula saya malah senang dia tidak keluar bersama sahabat temannya karna itu menciptakan saya jadi lebih sering bersamanya. Menjadikanku lebih mengenal dan masuk ke ceritanya.
Bima itu hebat,dia orang yang selalu ada untuk membelaku,menghiburku,membuatku kembali ingin tertawa. Aku beruntung mengenalnya. Sungguh beruntung.. Meski hanya sesaat.
***
"Bimaa..bim lempar bolanya."teriak Afta sesaat sebelum memasukkan bola ke dalam ring.
"Hebat lo ta,jago bener maen nya."puji bima
"Ya kan tiap orang punya bidangnya masing masing,lo juga jago di sepak bola kan."
Bima tersenyum dia oke dengan afta. Tiba tiba afta melempar bola basket ke arah Bima" Tangkap bim.” Tapi Bima dalam keadaan tidak siap bola pun melayang melewati bima dan terbang ke arahku
"Duuukkkkhh..."tepat mengenai kepalaku. Aku kaget terdorong jatuh ke samping. Semuanya melihat ke arahku,mereka berlari menghampiri. Ada satu sosok yang berlari paling kencang kemudian berkata
"Kamu ga papa kan?kamu ga amnesia?tanyanya sambil mengusap usap kepalaku
"Engga lah,lebay banget si."jawabku sambil menyingkirkan tangannya yang semakin usang semakin keras usapannya.
"Yauda sih kan saya khawatir,tau tau amnesia kan ribet,udah berdiri kali aib di liatin yang lain."lalu membantuku berdiri dan memapahku ke ruang uks
"Aku ga apa apa kok,ga usah ke UKS."
"Biar bu Ayu periksa dulu Shan,takut kenapa napa tadi bolanya Afta niscaya kenceng banget kan?"
Aku hanya diam,aku senang Bima begitu peduli tapi saya gundah harus memperlihatkannya atau pura pura tidak mencicipi apa apa. Lagi kepala ku memang sedikit pusing.
Setelah jam pulang,Bima menyampaikan diri untuk mengantar ku,tapi saya menolaknya saya tidak ingin terus menerus menyusahkannya. Lagi mood ku sedang tidak baik,setelah dari UKS ada kelas Pak Abdul. Pak Abdul memberi kiprah kelompok,aku senang anggota kelompokku sahabat sahabat dekatku .Aku berpikir ini akan mudah
"Shan kau kerjain yang nomer 5 hingga 10 ya?"ucap Desi
"Lalu kalian?"tanyaku balik
"Kita bertiga kerjain nomer 1 hingga 5."jawab Megan sambil tersenyum
"Soalnya praktis gampang kok,kita mulai kerja ya."Desi eksklusif membuka kotak pensilnya dan berdiskusi dengan Megan dan Sonya.
Akupun menerimanya kemudian mengerjakannya. Saat bosan mulai datang,sesekali saya melirik ke arah Bima,dia sedang asyik berdiskusi dengan kelompoknya. Dia memang hebat,dia bisa mengubah suasana tegang dan canggung menjadi canda tawa yang hangat. Semua anak di kelas menyukainya,dia memang tidak terlalu menonjol di akademis tetapi abjad dan cara dia memperlakukan orang lain menciptakan semua orang betah bersamanya. Tak sadar saya memandangnya,agak usang dan dia pun sadar.
Mata kami sempat bertemu,aku aib kemudian memalingkan muka. Melanjutkan pekerjaan yang menurutku sama sekali tidak adil. Ah biarlah mereka kan sahabat temanku,Bima juga niscaya akan melaksanakan hal yang sama untuk sahabat temannya kan?tak sadar saya melirik ke arah Bima lagi.Dan kebetulan Bima juga sedang memandang ke arahku,dia kemudian tersenyum padaku.Manis sekali,tapi suasana hatiku sedang tak dekat saya hanya membisu dan melanjutkan pekerjaanku. Dan tiba tiba Bima sudah ada di sampingku.
"Kamu kenapa lagi?"
"Aku engga apa apa Bima.”
"Masih pusing ya kepalanya?
"Engga kok,ga kerasa apa apa.”
"Kok kau ngerjain sendiri?ini kan kiprah kelompok?"
"Mmm..ya ga papa lah mereka juga ngerjain kok.”sambil melirik ke arah mereka.
Bima pun kembali ke dingklik nya dengan perasaan yang masih mengganjal. Tugas pun dikumpulkan ketika ingin bersiap siap pulang,aku ingat ada kiprah menciptakan peta untuk besok.
"Des,yang kiprah peta gimana?"
"Oh iyaya saya lupa.”
"Gimana kalo kau kerjain sendiri,kamu kan jago gambar?
"Tapi kan bikin peta tidak mengecewakan lama."
"Iya sih tapi saya ada janji hari ini,ga bisa di batalin."
"Yaudah deh gapapa."
Dalam hati saya berkata kenapa saya tidak bisa mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Kenapa saya selalu berkata tidak apa apa,tidak apa apa dan tidak bisa berkata tidak pada orang yang seenaknya begini.
"Kamu pulang sama siapa Des?"Bima sudah ada di belakang kami
"Eh Bim kirain siapa mungkin sama Megan sih emang kenapa?" Kaget Desi pun menoleh ke belakang
"aku anterin mau?"ajak Bima
Tiba tiba saya merasa keberadaanku tidak di anggap,aku merasa tertohok benar benar dalam. Sedikit demi sedikit saya menjauh dari mereka.
"Kamu mau kemana Shan?"tanya Bima sambil menarik tasku kembali ke dialog mereka.
"Aku pulang lah,kemana lagi?"aku tersenyum,getir sekali.
"Aku anterin kau dulu ya?"
"Ahhaha aanteriin aaku?"terbata bata saya menjawabnya
"Iyah"
"Gausah,kasian Desi ntar nunggunya. Udahnya saya pulang duluan."aku eksklusif berbalik menuju pintu
"Shan..Shanny."Bima masih memanggilku.
"Apa lagi Bima?"tanpa menolehke arahnya
"Aku anterin?"
"Gausah,aku ga lezat nyusahin kau terus,udah ya saya harus pulang cepet nih.”aku mempercepat jalanku nyaris berlari keluar kelas
Aku mustahil mendapatkan tawarannya. Kenapa harus ada Desi sih? Airmata ku nyaris menetes,tapi saya ingat siapa aku. Cepat cepat saya mengusap mataku. Aku ga apa apa ya saya ga apa apa.
***
Saat matahari masih aib malu menampakkan cahaya paginya. Saat angin dengan percaya diri nya meniup lembut apapun di sekitarnya. Saat insiden kemarin masih terang di kepalaku,aku sudah tiba di daerah ini. Tempat yang sama dengan kemarin. Aku membuka kertas karton yang sudah saya gambari peta itu,ada beberapa bab yang masih belum saya selesaikan.
"Waaw..petanya cantik banget,ga salah deh saya nyuruh kamu."ucap Desi tanpa rasa bersalah sama sekali malah dengan senyum bangganya.
Aku hanya membisu menyerupai biasanya mendapatkan apa pun yang di katakannya. Bel masuk pun berbunyi,Bu Inggrid pun masuk dan memulai pelajarannya. Tibalah saatnya saya dan Desi mempresentasikan peta dunia buatanku. Aku pun ke depan dan kemudian menempelkan peta itu ke papan tulis,tapi perekatnya tak kunjung jua merekat. Melihat saya kesulitan begitu Desi hanya diam
"Bantuin Shanny kali Des,udah yang ngerjain petanya dia yang masang juga dia. Kaprikornus kau ngapain aja?numpang nilai?"ucapnya sinis sekali,aku pertama kalinya mendengar Bima sekasar itu.Wajah Desi memerah dia merasa di permalukan oleh perkataan Bima
"Jangan pikir Shanny membisu aja tuh dia bisa seenaknya kau gituin,itu tuh kur.."sebelum dia menuntaskan kalimatnya saya lebih dulu memotongnya
"Aduh Bim udah please ga papa kok,kasian Desi."pintaku sambil mengisyarat untuk membisu pada Bima ini sudah cukup untuk menyadarkan Desi.
"Tapi dia kelewatan Shan,aku ga suka dia manfaatin temen sendiri."
"Bim please udah."aku memohon padanya
Bima mendengus,mungkin dia kesal. Orang yang dia bela malah membela orang lain,aku tahu aku seharusnya berterima kasih. Tapi lihat apa yang saya lakukan? Malah seolah Bima lah yang salah. Dalam hati saya mengutuk diriku sendiri. Kenapa saya begitu lemah dan bodoh? Maafkan saya Bima tapi saya tidak tahu harus bagaimana. Tapi terima kasih,terima kasih banyak.
Sampai jam pulang,Bima sama sekali tidak menyapa ku. Saat jam istirahat Bima keluar dan kembali bermain sepak bola dengan sahabat temannya di lapang sekolah. Aku hanya memandangnya ketika dia berlalu dari pandanganku. Aku takut saya aib saya tak berani menyapanya
***
Terdengar jam dinding telah berdendang ke 22 kalinya hari ini,tapi mataku tak kunjung terlelap. Udara hambar ketika hujan seakan mengajakku tetap berjaga. Aku tak henti memandang layar ponselku. Aku masih saja tidak berani mengirim pesan duluan pada Bima. Aku juga tidak ingin mengganggu tidurnya jika kalau dia sudah tidur,tapi setahuku Bima sering bilang jika dia gres tidur jam 2 shubuh dan itu lah yang menyebabkan dia selalu tiba terlambat. Aku benar benar butuh waktu yang panjang untuk mengumpulkan keberanian untuk mengetik pesan pesan ini.
Hai Bima,kamu sudah tidur?maaf bila saya menggangumu. Tapi saya benar benar merasa bersalah atas yang terjadi tapi pagi. Aku tahu saya yang salah. Kenapa saya begitu bodoh,sekali lagi saya minta maaf... -Shanny
Aku senang,akhirnya saya bisa mengirimkan pesan itu. Aku tak berharap Bima membalasnya. Aku akan mengerti jika Bima masih marah. Kalau saya yang ada di posisi Bima saya pun akan marah. Tidak tahu berterima kasih sekali pikir ku. Tapi siapa sangka ponselku bergetar,tanda 1 pesan gres masuk. Cepat ku raih ponsel di samping daerah tidurku. Dan itu dari Bima.
From: Bima
Malam Shanny. Kok kau belum tidur? Aku engga apa apa kok(udah menyerupai kau belum?) Mengenai insiden tadi pagi saya sudah tak memikirkannya. Kamu tidak perlu merasa bersalah,aku emang kelewatan. Untung tadi Bu Inggrid ga ngusir saya dari kelas.
***
![]() |
| Kenangan dalam Hujan Karya Elalia |
Pukul 06.34 saya sudah di kelas. Sekolah masih sangat sepi,baru ada mang Jaka sedang menyapu daun daun kering yang gugur dari pohonnya. Tanah pun masih berair sehabis semalam di siram hujan. Udara begitu sejuk,di ketika menyerupai ini saya sangat suka membisu di luar membiarkan sejuknya masuk ke seluruh kepalaku,membekukan semua duduk kasus membekukan semua kebahagian biar tetap di kepalaku. Pesan Bima benar benar menciptakan tidurku nyenyak,aku merasa semua akan baik baik saja. Aku memejamkan mata seraya berteriak dalam hati “terimakasih Bima”
Saat saya membuka mata saya benar benar terkejut melihat Desi sudah ada di hadapanku. Baiklah mungkin ini waktu yang baik untuk minta maaf pada Desi. Meskipun Desi memang salah tapi saya juga harus meminta maaf atas perkataan Bima.
“Shan maafin saya ya.”ucapnya,aku sedikit terkejut dengan apa yang di katakannya
“mmaaf untuk?”aku tahu kalimat itu tak cocok keluar,tapi saya benar benar terkejut.
“Untuk semuanya,aku sadar seharusnya saya ga boleh gitu sama kamu. Kita kan punya tanggung jawab masing masing. Bima bener saya keterlaluan,sebenernya Bima udah ingetin saya buat rubah perilaku saya tapi saya tetep aja gitu. Makanya kemarin Bima murka banget sama aku.”
“Bima negur kamu?”
“Iyah Shan.”
“Kapan?”
“Ituloh pas dia nganterin saya pulang,dia tahu kalo saya nyuruh kau ngerjain kiprah sendiri. Dia bisa aja negur saya eksklusif tapi katanya niscaya bakal kau larang. Kaprikornus dia ngajak saya pulang bareng.”Tiba tiba wajah Bima terbayang,aku lagi lagi salah. Kemarin saya sudah berpikir macam macam ihwal Desi dan Bima,dan ternyata Bima begitu peduli padaku. Bima selalu tahu apa yang harus dia lakukan. Berbeda denganku yang selalu membisu dan menyembunyikan semuanya berpura pura baik baik saja.
***
“Shan pulangnya saya anter ya?”
Aku mengangguk tanda mau,sekarang saya dan Bima kian dekat. Aku menceritakan semuanya padanya kecuali perasaan itu,perasaan yang saya pun tak tau apa. Perasaan selalu ingin dekat dengannya,rasanya begitu nyaman dan tenang. Bima juga selalu mengantarku pulang. Hariku selalu berakhir indah sekarang. Semua karna Bima.
“Bim,jangan ngebut ngebut kaya kemarin ya.”
“Ga janji deh.”seraya tertawa
“Ih kau tuh ya. Yaudah saya naik ojeg aja lah.”
“Yakin mau naik ojeg aja?ga boleh meluk mang Ojegnya loh,kan mang ojegnya udah punya istri.”tanyanya semakin lebar.“Udah cepet naik,keburu ujan tau rasa.”
Aku pun naik ke motornya. Bima mulai menyalakan motornya
“Pegangan Shan.”ucapnya
“Ga ma..”belum selesai kalimatku dia sudah menaikkan gas motornya,membuatku kaget dan refleks memeluknya.
“Tuh kan meluk juga hahahaa.”
“Kamu tuh bener bener ya.”aku memukul mukul pundaknya dia hanya tertawa
Hujan pun mulai turun,dingin pun mulai menyebar.Aku dan Bima berteduh di sebuah halte bus.
“Dingin ya?”tanyanya melihakut mulai menggigil.
Aku lagi lagi hanya mengangguk. Memang dingin. Apalagi saya dan Bima sama sama tidak menggunakan jaket.
“Ah saya ga bawa jaket lagi,kalo saya bawa kan saya bisa makein jaketnya ke kau persis kaya di sinetron. Terus romantis ya?”ucapnya
“Apaan sih Bim gak perlu kaya gitu saya ga lebay kok.” Kita pun tertawa,tiba tiba Bima membuka kancing seragamnya
“Kamu mu ngapain?”
“Buka seragam buat di pakein kamu.”
“Buat apa?gak usah ih.”tanganku menahannya
“Ituh..anu.. gimana yah bilangnya?”
“Kenapa?bilang aja?
“Maaf ya maaf banget,itu kau keliatan.”sambil menunjuk ke arahku.
Aku mengerti maksudnya. Seragam kita memang sudah berair kuyup terkena air hujan ketika mencari daerah berteduh. Bima pun membuka seragamnya.
“Nih cepet pake.”sambil memakaikan seragam nya menutupi punggungku.
“Kamu gimana?”tanyaku sedikit cemas melihatnya hanya menggunakan kaos dalam.
“Gapapa seksi tahu,buktinya pada ngeliatin tuh.”tunjuknya pada seseorang di hadapannya yang sedari tadi memperhatikan kami.
Akupun tertawa,Bima ikut tertawa. Hanya orang yang di tunjuk Bima yang tidak tertawa. Air yang turun dari langit mulai reda,kita pun tetapkan untuk melanjutkan perjalanan. Sudah tidak terlalu jauh dari rumahku.
“Masih gerimis sih tapi lumayanlah daripada terus di sini sama orang tadi.”
“Iyah kita pulang aja,nih pake lagi seragamnya.”tanganku menyodorkan seragamnya. Bima pun memakainya dan kita pun berlalu meninggalkan halte tadi.
***
Lagi lagi kita bertemu di kelas ini,entah kenapa saya jadi begitu menyukai sekolah ini. Sekolah yang mempertemukan saya dan Bima. Siswa di kelasku sedang bersiap siap pergi ke lapang olahraga. Tidak menyerupai biasanya Bima terlihat sedikit pendiam. Biasanya bila sudah masuk jam olahraga dia ialah siswa pertama yang sudah pemanasan di lapang,tapi hari ini dia masih duduk di kursinya.
“Bim kok kau masih di sini?biasanya udah pemanasan di lapang”godaku
“Kan saya nunggu kamu.”jawabnya sambil tersenyum. Ada sesuatu,senyumnya lain dari biasanya.
Kita pun berjalan menuju lapang,tak ada dialog menyenangkan menyerupai biasanya yang keluar dari verbal Bima. Dia hanya menunduk,entah menyembunyikan apa.
Setelah sejam pelajaran olahraga berlangsung.Bima sesekali menepi ke pinggir lapangan. Dan ketika kita akan kembali ke kelas Bima pingsan. Pak solihin membawanya ke UKS,aku mengikutinya dari belakang.
“Shan kau kembali ke kelas saja,Bima biar Bu ayu yang urus.”perintah pak Solihin guru olahraga kami.
“Tapi pak,Bima kenapa?”
“Sudahlah Shan nanti aja nanyanya.”ucap dia sambil membantu bu ayu menyelidiki Bima.
Aku pun berjalan kembali menuju kelas,berat sekali rasanya. Aku ingin menemani Bima. Seperti yang biasanya ia lakukan padaku. Sepanjang pelajaran pak Abdul begitu panjang dan membosankan. Seluruh perhatian ku tak henti bertanya bagaimana keadaan Bima sekarang.
Akhirnya bel pulang berdering.Aku eksklusif berlari ke luar kelas memburu UKS sekolah. Terlihat dari kejauhan UKS begitu sepi,terbesit dalam otakku bagaimana jika Bima kenapa napa dan di bawa ke RumahSakit.
Akhirnya saya sampai,terlihat seseorang sedang berbaring di ranjangnya.
“Bimaaa.”ucapku sedikit keras.Cukup keras untuk membangunkan seseorang itu. Tanpa sadar saya eksklusif memeluknya. Tubuh itu begitu lemah. Bima membalas pelukanku dengan mengusap rambutku nyaris tidak terasa.
“Hai Shan.”hanya itu yang keluar dari mulutnya,suaranyapun lemah.
“Biiimma saya khawatir kau kenapa napa.”tangisku pecah.
“Shanny saya ga apa apa,kamu gak usah nangis ya.”tangannya yang masih lemah berusaha mengusap airmataku. Tapi saya tak bisa baik baik saja ketika ini. Kecemasanku benar benar di puncaknya.“Shan liat aku,aku ga apa apa kok.”Bima terus menenangkanku.Akhirnya tangisku mulai reda,ku pandang wajah pucat itu.“Aku ga papa kan?”ucapnya.
“Kalo kau enggak apa apa kenapa kau bisa pingsan?”tersedu sedu saya bertanya.
“Aku Cuma lupa sarapan.”lalu tersenyum,senyumnya di paksakan. Aku tahu itu,matanya tak bisa berbohong.
“Bima,kamu itu penting untukku. Aku ga mau kau pergi. Kaprikornus tolong beritahu saya jika kau perlu bantuanku. Aku ingin menyerupai kamu,selalu bisa lindungin aku. Tapi bagaimana saya bisa lindungin kau jika kau engga pernah bilang jika kau sakit. Kalau kau sedih,kalau kau selalu sembunyiin itu semua.”tangisku kembali pecah. Erat ku peluk badan lemah itu.
Dia hanya diam,lalu memandangku.
“Shan saya sakit”ucapnya pedih sekali. Aku tak tahu arti kepedihan yang di rasakannya itu.Yang saya tahu saya harus lindungin Bima dari rasa sakit itu. Matanya terus memancarkan kepedihan.
Hujan kembali turun,tidak lebat tapi cukup untuk menciptakan bunga bunga itu tetap hidup dan bermekaran. Membawa keindahan tetap bersamanya.
Setelah hujan reda,ayah Bima tiba menjemputnya.Beliau berterimakasih padaku karna telah menemaninya kemudian pergi. Tak usang ibuku juga menjemputku pulang. Aku tak banyak bicara ketika ibuku bertanya bagaimana keadaan Bima. Mobil yang kita naiki terus melaju membelah hujan yang mulai deras melewati halte bus daerah saya dan Bima berteduh kemarin.
Setelah hari itu Bima tidak masuk sekolah. Sering kukirimkan pesan untuk menanyakan kabarnya namun tak pernah ada balasan. Kenapa ketika saya berharap tanggapan darinya dia malah menghilang menyerupai ini. Tiba tiba saya tidak suka lagi pada sekolah ini. Pada kelas ini,begitu hambar dan sepi tanpa canda tawa Bima. Aku rindu padanya,aku ingin menceritakan apapun padanya,aku ingin melihat senyumnya mendengar tawanya mencicipi kehadirannya. Aku rindu padanya.
Hari hariku begitu membosankan tanpanya,bel pulang begitu ku tunggu bunyinya. Seperti hari ini,aku eksklusif pergi menuju gerbang sekolah. Aku terdiam,tak percaya apa yang ku lihat. Seorang yang ku tunggu sedang berdiri bersandar pada tembok samping gerbang. Dia tersenyum melambaikan tangannya. Tubuhnya lebih kurus dari yang terakhir ku lihat. Wajahnya sedikit pucat tapi senyumnya tetap manis dan tulus.
“Shan,gimana kabarmu?maaf saya ga bisa sekolah”sapanya,aku membisu tak henti memandang wajahnya. Aku rindu wajah ini. Aku senang bisa kembali melihat senyum ini. Tanganku meraih wajahnya. Dingin,begitu dingin. Dia tetap tersenyum,senyumnya seakan berkata bahwa dia baik baik saja tapi matanya,matanya bercerita seakan dia begitu rapuh. Begitu pedih.
Dia mengajakku berjalan jalan di sekitar taman dekat sekolah,dengan senang hati saya mengiyakan. Tak banyak kata yang terucap dari verbal kami,karna lebih banyak mata yang menceritakannya. Tanganku tak henti menggenggam tangannya.Kenapa sekujur tubuhnya begitu dingin? Aku tak ingin menanyakannya.
“Shan,kita duduk di sana yu.”ajaknya sambil menunjuk sebuah dingklik panjang di bawah pohon cemara besar.
Kita pun duduk di sana,kupandang lagi wajahnya. Memastikan bahwa ini benar benar Bima. Wajahnya semakin pucat.
“Bim,wajah kau kok makin pucat?”
“Oh ya?makin ganteng ga?”ucapnya kemudian tertawa. Oh yang kuasa saya begitu merindukan momen ini. Dimana ketika ia tertawa.“Kamu kenapa Shan?dari tadi kok ngelamun terus?kamu mau pulang?”tanyanya sadar saya lebih banyak memandang wajahnya dari pada menjawab pertanyaannya.
“Aku ingin di sini sama kamu.”jawabku tetap memandang wajahnya.
“Tapi kayanya kita harus pindah deh,soalnya mungkin hujan bakal turun.”sambil menengadah melihat langit yang mendung.
“Kita mau kemana?”akupun ikut melihat langit yang memang mendung sedari tadi.
“Aku rasa di sana ada Kedai Kopi.”
Kami memesan dua gelas kopi. Di luar gerimis memulai aksinya,membasahi semua yang ada di bumi sedikit demi sedikit.
“Kopinya enak?”tanyanya
“Enak,enak banget malah. Kok kau tahu daerah ini?”
“Dulu pas saya masih aktif di bola,kita sering nongkrong di sini. Ngerayain kemenangan kita kalo menang tanding atau mengobati kekecewaan kita jika kalah bertanding.”jelasnya,matanya memancarkan kerinduan. Terlihat jika dia begitu rindu bermain sepak bola bersama sahabat temannya. Mungkin terakhir kali ia main sepak bola ialah ketika dia memarahi Desi.
***
Kelas sedang gaduh ketika Bu Inggrid masuk. Hari itu Bima masih belum masuk,terakhir saya melihatnya ialah ketika kita menunggu hujan reda di kedai kopi itu.
“Anak anak ibu minta perhatiannya sebentar.”ucap dia menciptakan semua anak menghentikan kegiatannya dan melihat kearahnya.
“Ada kabar kurang baik dari salahsatu sahabat kita,tadi pagi ibu mendapatkan telponn dari Ibu Bima. Beliau memberitahukan bahwa Bima kini sedang di rawat. Dan belilau juga meminta doa pada kita semua biar mendoakan kelancaran operasi yang akan Bima laksanakan,maka dari itu mari kita tundukkan kepala untuk mendoakan kesembuhan Bima. Berdoa dalam hati mulai.”
Tuhan,apa yang terjadi pada Bima?kemarin dia baik baik saja. Otakku sudah tak bisa berpikir jernih ketika ini,terlalu banyak pikiran pikiran negatif ihwal keadan Bima. Saat bel pulang berbunyi saya eksklusif menelpon ibu untuk memintanya mengantarku ke rumah sakit daerah Bima di rawat. Perjalanan terasa begitu jauh dan lambat. Bima tunggu aku,jangan kemana mana saya mohon tunggu aku.
“Sayang,kamu tahu kamar Bima?”tanya ibuku yang tentu jawabannya tidak,aku begitu panik hingga lupa menanyakannya pada Bu Inggrid.
Di kejauhan saya melihat sesosok yang ku kenal,itu ayah Bima. Aku ingat wajah cemas itu. Itu wajah yang sama ketika ia menjemput Bima dari UKS.
Akupun berlari meninggalkan ibu yang sedang bertanya tanya pada suster yang kebetulan lewat.
Suasananya begitu tegang di sini,tak ada ucapan selamat datang. Semuanya larut dalam doanya masing masing. Aku memberanikan diri menyapa ayah Bima yang sedari tadi mondar mandir.
“Om gimana keadaan Bima?”
“Kamu sahabat Bima yang waktu itu kan.”nampaknya ia masih ingat padaku.
“Iya om saya Shanny,ini ibu sama.”aku memperkenalkan ibuku yang gres sampai.
“Bima kritis nak,operasinya gagal. Om minta doanya. Semoga Bima besar lengan berkuasa dan bisa sembuh lagi.”
Tubuhku lemas,aku nyaris jatuh jika ibu tidak memelukku. Ia berusaha menenangkanku. Bima kritis tuhan?tuhan tolong selamatkan Bima. Aku tidak ingin kehilangannya. Dia orang baik tuhan,dia selalu menjagaku. Jangan ambil dia kini tuhan. Tangisku semakin membuncah. Airmata begitu cepat membasahi pipiku. Aku tidak ingin tawanya di kedai kopi itu ialah tawanya yang terakhir. Kenapa saya tidak bisa melindunginya menyerupai yang selalu ia lakukan padaku. Tuhan,tolong saya sekali ini saja. Selamatkan dia. Dia orang baik,baik sekali dia juga orang andal untukku. Tiga jam berlalu,kita masih menunggu dalam kecemasan yang begitu pekat.
Akhirnya dokter keluar,wajahnya begitu lelah. Kita eksklusif menghampirinya berharap kabar baik yang akan dia sampaikan.
“Kami sudah melaksanakan yang terbaik yang kami mampu. Tapi Bima sudah benar benar lemah. Begitu banyak sakit yang dia derita. Saat ini yang kuasa masih membiarkan Bima bertemu kalian.” Bima,kamu dihentikan pergi. Kamu harus besar lengan berkuasa saya bakal lindungin kau dari sakit itu. Aku janji Bim,tapi kau harus kuat. Aku tak sempat mendengar klarifikasi dokter lagi. Aku eksklusif berlari untuk melihat Bima. Saat saya masuk ke ruangannya saya terhenti. Aku terhenyak melihat kondisi Bima,begitu tak berdaya. Tak ada senyum manis menyerupai biasanya. Oh yang kuasa itu Bima,aku tidak tega melihatnya. Langkahku tersendak mendekatinya. Dia berlahan membuka matanya.
“Biimma....bimaaaaaa..”tangisku kembali pecah,lagi ku peluk badan lemah itu.
Ia membalasnya lagi lagi dengan mengusap rambutku,persis menyerupai ketika kita di UKS.
“Shan sudahlah saya ga apa apa kok.” Aku benar benar tidak ingin mendengar kalimat itu,baik baik bagiamana?jelas terang dia begitu lemah tak berdaya menyerupai ini.
“Biiimma ka mu ga boleh per gi.”ucapku terbata bata tertahan tangis.
“Aku ga akan kemana mana Shan.”ucapnya ia berusaha tersenyum.
“Bima saya ssay..aku ga mau kau pergi.”kenapa susah sekali mengatakannya bim?susah sekali.“Bima kau harus janji kau gak bakal pergi!!”pintaku. Bima tidak menjawab dia hanya tersenyum. Lalu mengusap air mataku berlahan sekali. Tangannya begitu dingin. Kupeluk lebih erat tubuhnya saya gak mau dia pergi. Dia harus tetap di sampingku. Tubuhnya semakin lemah,lemah dan semakin lemah. Matanya mulai tertutup.“Bim...Biiimma jaangan peergi!!”
Dokter dan suster itu masuk dan eksklusif memeriksanya,mereka memaksaku keluar. Aku berontak,aku ingin tetap di sini. Bila ini ketika terakhirnya,aku ingin menemaninya hingga akhir. Setidaknya hanya itu yang bisa saya lakukan sebagai seorang teman. Tapi saya tak kuasa menahan dorongan suster itu. Aku tersungkur jatuh,lututku sakit. Mungkin memar,tapi saya tak peduli saya hanya ingin bisa di samping kau Bima. Aku yakin jika kau melihatnya kau niscaya akan memarahi suster itu,seperti yang kau lakukan pada Desi dulu. Tapi kenapa kau hanya diam? Apa kau murka padaku?karna saya tak bisa melindungi kau menyerupai yang selalu kau lakukan?maafkan saya Bima.
***
Awan hitam mengantarkanmu ke daerah pengistirahatan terakhirmu Bim. Ini benar benar terjadi Bim,kamu risikonya ninggalin saya juga. Walau bahwasanya saya masih belum percaya,tapi ini nyata. Di hadapanku terang tertera nisan bertuliskan BIMA AGYA PRATAMA. Aku takut rindu kau nanti,aku takut sendirian Bim. Aku takut tanpa kamu.
“Nak Shanny,ayo kita pulang. Yang besar lengan berkuasa yah.”ajak ibu Bima.
Aku menoleh padanya,lalu menggeleng. Aku masih ingin bersama Bima.
“Ini semua gara gara mamah. Maafin mamah ya Bima.”ucapnya sambil memegang nisan anak sulungnya itu. Aku memandangnya.Kenapa?“Ini salah mamah,kalo mamah engga pergi dari rumah. Kamu ga bakal kaya gini sayang.Mamah menyesal,kenapa mamah tega menelantarkan kau dan adik adik kamu.Mamah dengar kau hingga berguru masak sama bu Lela,kamu memang abang yang bertanggung jawab sayang. Kamu ga tega liatin adik kau kelaparan karna gak ada yang masakin.”aku tersenyum Bima memang selalu punya caranya sendiri untuk menolong orang lain.“Ibu macam apa aku?yang ninggalin anak anaknya sendiri di rumah.Maafin mamah,Beban kau bertambah ketika mamah cerai sama papahmu. Kamu makin tidak peduli sama kesehatan kamu. Sampai kau sakit gini. Maafin mamah sayang.”tangisnya benar benar dalam,aku bisa mencicipi penyesalannya.Hingga saya pun tak sadar meneteskan airmataku lagi.
“Tante.”ucapku menguatkannya. Dia menoleh kemudian memelukku sambil berkata“Bima itu anak baik Shan.”aku mengangguk.
Kini saya tahu arti kepedihan di mata Bima. Mata itu menunjukkan ketegaran Bima ketika melawan rasa takutnya,rasa kesepiannya,rasa marahnya dan semua rasa yang harus ia rasakan sendiri.
Bima,di depan pusaramu saya berjanji akan menjadi Shanny yang besar lengan berkuasa sepertimu. Kamu ga usah khawatir lagi,aku bakal bisa hadapi semuanya. Aku juga janji bakal jagain Ibu kamu,seperti kau yang selalu jagain aku. Terimakasih banyak Bima dan Maafkan saya yang tidak bisa jujur hingga kini sehabis kau pergi.
***
Teh di depanku telah habis ku minum,hujan pun reda. Kenangan ihwal Bima pun perlahan pergi. Kini saya sudah menjadi Shanny yang berbeda. Aku berjanji tidak akan menangisi kepergian Bima lagi saya hanya akan mengenangnya sebagai seseorang yang luar biasa dalam hidupku sebagai kenangan dalam hujan.
Profil Penulis:
Nama ; Elalia
TTL ; Bandung,17 maret 1998
fb ; Elalia
ig ; Elalia11
Advertisement
