Aku Lapar Karya Leo Christianto

Info Populer 2022

Aku Lapar Karya Leo Christianto

Aku Lapar Karya Leo Christianto
Aku Lapar Karya Leo Christianto
AKU LAPAR
Karya Leo Christianto

Dia terbaring di kasur dengan tangan dan kaki terikat, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak ada cahaya, hanya pantulan bagian beling yang sesekali menyilaukan mata. Langit-langit  tampak biasa saja. Debu dan kotoran di mana-mana. Tak ada desiran angin, ataupun ringkikan binatang kecil. Hanya kesunyian yang mengisi, entah sudah berapa usang ia terkurung di dalam kamar itu. Tak ada yang tahu pasti, bahkan oleh ia sendiri.

Tampak sebuah teralis besi yang menutupi satu jendela besar pada satu sisi kamar, di sebelah kanan rak buku yang telah lapuk akhir dimakan jamur. Sinar matahari tak akan bisa menembus tirai yang telah diganti dengan papan yang dipaku dari luar. 

Masih terikat – masih terbaring, perlahan ia palingkan wajahnya dan memandangi seisi kamar. Tak ada satu barang pun, selain kasur, cermin setengah pecah dan rak buku yang sudah lapuk itu. Tak ada keramik ataupun karpet pada lantai yang disemen secara serampangan. Dinding berlapis cat warna putih polos. Sangat sukar menggambarkan kondisi ruangan tanpa penerangan yang memadai. 

Kamar itu mungkin pernah ditempati oleh cowok seusianya. Tapi sisa-sisa jiwa muda sepertinya telah dimusnahkan. Satu-satunya yang tersisa hanyalah sesosok badan kurus yang terbaring di atas kasur dengan tangan dan kaki yang terikat rantai besi.

Rio tidak tahu apa yang telah terjadi sebelumnya dan sedang berada di mana ia sekarang. Mengapa ia bisa berada di sana, mengapa ia terbaring di kamar itu dengan badan yang terikat pula.

Mungkin seseorang telah membiusnya kemudian mengurungnya di dalam kamar itu selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Atau mungkin saja telah terjadi kecelakaan kemudian ia mengalami koma. Entahlah, semua kesimpulan itu hanya akan membuatnya sakit kepala. Akhirnya ia mencoba untuk mengosongkan pikirannya. 

Setidaknya ia harus mencoba untuk melepaskan dirinya dari jeratan rantai yang telah mengikatnya itu. Dia tidak ingin terbaring di dalam kamar anyir itu untuk selama-lamanya. Kondisi tubuhnya dikala ini masih terlalu lemah. Begitu juga dengan kondisi mentalnya. 

Aku Lapar Karya Leo Christianto

Langkah awal yang ia lakukan, pertama-tama ia mencoba untuk menggerak-gerakkan kaki dan tangannya. Rasanya begitu kaku, rantai besi sialan itu benar-benar tak bisa dilonggarkan. Dalam kondisi badan yang masih setengah sadar, sulit baginya untuk memusatkan kekuatan pada kaki dan tangannya.

Setelah beberapa kali mencoba sambil memejamkan mata dan berdoa, ia berhasil melonggarkan ikatannya. Perlahan-lahan ia menarik-narik rantai tersebut ke kiri dan ke kanan kemudian dengan gerakan setengah memutar, hingga jeratan rantai itu pun berhasil terlepas menyisakkan bekas lecet kemerahan dengan rasa perih yang sungguh menyiksa. Tapi rasa lapar seolah menutupi itu semua. 

Tak sanggup menahan rasa laparnya lebih lama, Rio meletakkan sikunya pada kasur kemudian perlahan membangkitkan tubuhnya. Ketika mencoba bangkit, urat-urat di persendian tubuhnya menjadikan sensasi serasa ditarik-tarik yang sangat menyakitkan. “Ya Allah, sakit sekali!,” pikir Rio. Tubuhnya mengejang setiap kali ia mencoba untuk bergerak. Tapi Rio terus mencoba, mengumpulkan sedikit tenaganya, mencoba berdiri sejenak kemudian terduduk alasannya yaitu kehabisan tenaga.

Rio masih tampak terkejut dengan kondisi tubuhnya yang kurus dibalik pakaiannya yang sudah lusuh dan compang-camping. Benar-benar mimpi buruk. Bagaimana bisa ia terbangun dengan kondisi badan menyerupai ini?. Rasanya sangat sulit untuk dipercaya dan benar-benar tidak masuk akal. 

“Sungguh hal yang sangat mustahil, dalam hati Rio bertanya-tanya. Apakah ilahi telah mengutukku?.” Di dalam otaknya seolah dipenuhi dengan segala pertanyaan-pertanyaan yang takkan terjawab. 

Akan tetapi belum saatnya ia mencari balasan atas kondisi anehnya itu. Satu-satunya hal yang harus ia lakukan yaitu mencoba meloloskan diri. Setelah berhasil berdiri ia turunkan kakinya hingga menyentuh lantai. Permukaan lantai yang garang menjadikan rasa tidak nyaman pada telapak kakinya, bagai tertusuk serpihan paku, rasanya sungguh menyiksa.

Dia berjalan terhuyung-huyung di kegelapan sambil meraba dinding mencari jalan keluar. Rasa sakit di sekujur badan seolah memperlambat pergerakannya. Dengan bersusah-payah ia menggapai gagang pintu kemudian menariknya dengan sekuat tenaga. Perlahan pintu itu terbuka dengan disertai suara berdecit yang menyakitkan telinga. Ia melangkah keluar mendapati sebuah lorong yang begitu panjang dan juga gelap, tapi tak segelap kamar yang mengurungnya.

Ia langkahkan kakinya perlahan menyusuri koridor sambil menjaga keseimbangan badan supaya tidak terjatuh. Hanya terdapat satu pintu pada lorong itu, yang terbuat dari kayu yang berwarna gelap senada dengan warna dinding. Mencoba membukanya demi mendapat beberapa petunjuk dan pemahaman atas kejadian yang dialaminya itu.

Akan tetapi kebutuhan untuk segera merampungkan rasa laparnya itu benar-benar telah mengalahkan rasa penasarannya. Ia harus segera mengisi perutnya dengan makanan, jikalau tidak segera makan ia bisa saja mati.

Dan dalam kondisi ruangan yang hanya dipenuhi dengan kegelapan ia hanya bisa meraba dan mendengus ke segala arah. Wangi aroma kuliner melayang merasuk ke dalam hidungnya, merusak konsentrasinya, menciptakan usus dalam perutnya seolah berputar-putar, memelintir perutnya yang kosong. Air liurnya menetes tak terkendali.

Untuk mencapai sumber aroma, ia harus melewati dua puluh anak tangga. Benar-benar penderitaan yang tak ada habisnya. Berjalan pada permukaan tangga yang curam di kegelapan – benar-benar menyerupai di neraka. Tubuhnya yang lemah tak kuasa mempertahankan keseimbangan. Ia nyaris terjatuh dan membentur pinggiran tangga.

Sesampainya Rio di lantai bawah, ia dudukkan tubuhnya, menarik napas dalam-dalam, mengembalikan tenaga yang terkuras kemudian terpincang-pincang mencari ruang makan. Dia melewati beberapa pintu kayu yang sama dengan langit-langit dan dinding-dinding tanpa cahaya.  

Melangkah ke satu-satunya ruangan yang bercahaya dengan pintu yang terbuka. Makanan tersaji di depan mata, di atas meja besar bentuk persegi panjang. 

Ada delapan kursi tapi tak terlihat gejala penghuni rumah. Nampak susunan sendok, garpu dan serbet yang masih tertata rapi, membuktikan bahwa kuliner belum tersentuh. Dari posisi kawasan duduk yang masih nampak rapi sanggup dipastikan belum ada satu orang pun yang mengisi ruangan tersebut kecuali sang koki ataupun pelayan yang juga tak mengatakan gejala keberadaan mereka. Lantas untuk siapa kuliner sebanyak itu?.

Tapi rasanya pertanyaan itu tidak akan terjawab dalam waktu dekat. Rio segera menduduki kursi, meraih kuliner terdekat yang bisa dijangkau dengan tangannya dan segera memasukkannya ke dalam lisan tanpa peduli ada sendok dan garpu, merobek potongan daging tanpa pemberian pisau kemudian menelannya bulat-bulat dan meminum segelas besar air putih demi melegakan rasa lapar dan hausnya itu.

Setelah perutnya terisi penuh, Rio berdiri sejenak kemudian duduk kembali sembari menarik nafas alasannya yaitu kekenyangan. 

Tiga puluh menit kemudian rio berlari menaiki tangga. Melewati lorong gelap yang tadi ia lewati, meraih gagang pintu menuju kamar yang sama kemudian menutupnya rapat-rapat. Tanpa pikir panjang ia pun tertidur kembali.

Profil Penulis:
LEO, memilikki nama lengkap Leo Christianto. Lahir di Sangasanga 13 Oktober 1989 Kab. Kutai Kertanagara. Pendidikan Formal dimulai dari SD 009 Sangasanga selama 4 tahun, kemudian pindah ke SD 020 Mangkupalas Samarinda Seberang. Setelah lulus kembali melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Sangasanga dan Sekolah Menengan Atas Negeri 1 Sangasanga. 

Hobi : Membaca dan Menulis Puisi/cerpen

Saat ini penulis masih bekerja sebagai Karyawan Honorer di salah satu Instansi Pemerintah. Awal menulis semenjak dibangku SMP. 

Apabila ingin berinteraksi dengan penulis, sanggup melalui Facebook: Leo Christianto, Twitter: https://twitter.com/ChristiantoLeo, Handphone: 082156825498 atau e-mail: 

Advertisement

Iklan Sidebar