CERPEN CINTA
Karya Rika Santia Sunari
Aku terus menatapnya tanpa berkedip, senyum kecil terlukis di wajahku. Diam-diam saya mengarahkan lensa kamera ponsel ku kepadanya. Setelah mendapatkan fotonya saya eksklusif menyimpan ponselku kembali. Dia ialah cahaya bintang hatiku.
Perkenalkan namaku Hana, saya murid kelas XI SMA. Hobiku belajar, menonton anime dan membaca dongeng fiksi. Disekolah saya mengikuti ekskul mading dan saya menjabat sebagai sekretaris. Aku sangat bahagia menjadi anggota mading lantaran saya sanggup bersahabat dengan orang yang saya sukai meski hanya sebentar.
Orang yang ku sukai itu ialah Altair Bhagaskara biasa dipanggil Alta. Dia satu angkatan denganku dan satu jurusan namun tak sekelas. Dia itu mengikuti ekskul futsal tapi beliau tak populer ibarat pemain lainnya, beliau juga tak menjadi bintang lapangan mungkin lantaran beliau posisinya sebagai pemain cadangan. Tapi meskipun begitu, beliau tetap menjadi bintang di hatiku lantaran namanya ialah salah satu dari beberapa bintang yang paling terperinci diangkasa sana.
Hari ini saya kembali sibuk dengan acara mading, saya sibuk menulis agenda untuk rapat nanti.
“Hana, sanggup panggilkan Mala? Aku mau tanya ihwal keluaran keuangan bulan ini.”
“Bisa, kak.”
Aku keluar ruangan untuk memanggil Mala, namun ketika saya sudah membuka pintu saya terkejut lantaran melihat Alta tengah berdiri dan tangannya terangkat ibarat akan membuka pintu.
“Alta?” ucapku spontan.
Alta terlihat terkejut melihatku, ia mundur beberapa langkah dan tersenyum canggung. “Oh, hai Hana,”
Aku mencoba menormalkan detak jantungku dan tersenyum kepadanya. Aku menebak tampaknya Alta akan mengirimkan puisi ke klub mading, dan ternyata dugaanku benar. Alta memperlihatkan puisinya padaku, saya mengambilnya dan membacanya cepat. “Puisinya bagus.” puji ku.
Alta tersenyum dan mengucapkan terima kasih, beliau kemudian pamit ke padaku saya hanya mengangguk. Aku menahan senyum melihat Alta berjalan dengan cepat.
Bel masuk berbunyi saya masih berdiam diri di ruang mading lantaran nanti tidak akan KBM lantaran guru-guru sedang rapat. Elsa, sobat sebangku ku menghampiri ku yang sedang membaca puisi kiriman para murid. “Han, kelapang yuk!”
Aku menggeleng cepat, “Nggak akh, males.” tolakku.
“Ikh, Hana, ayo kelapang. Alta lagi maen futsal tuh.”
Seketika saya menghentikan membaca dan menarik paksa tangan Elsa. “Han, pelan-pelan dong, sakit nih tangan aku.”
Aku segera melepaskan tangan Elsa, “Hehehe,, maaf ya Sa,”
Elsa menggerutu kesal sambil mengelus tangannya.Kami berdua melanjutkan perjalanan menuju lapang. Sesampainya dilapangan, para pemain sudah bersiap-siap. Aku dan Elsa masuk ke kerumunan kelas IPS 4.
Para suporter berteriak heboh ketika Alta dan Jaenal berebut bola. Elsa dan murid wanita kelas IPS 4 meneriaki nama Jaenal yang sering disingkat menjadi Jaen. Sedangkan kubu sebelah yakni kelas Alta meneriaki nama Alta dengan tak kalah heboh. Aku belakang layar pergi keluar dari kerumunan kelas IPS 4 menuju suporter kelas Alta. Aku berdiri disamping Rena, tetangga ku.
“Hei, Han!”
“Hei juga, Ren. Aku boleh ikut disini?”
“Boleh, silahkan.”
Rena kembali meneriaki nama Alta, saya juga ikutan meneriaki. Suporter makin heboh ketika Deri menggiring bola ke tempat lawan. Aku tegang dan deg-degan melihat Deri di hadang oleh lawan. Aku mendengar Alta berteriak dan memberi arahan biar bolanya dioper ke dia. Tanpa membuang waktu dan kesempatan Deri mengoper bolanya ke Alta, Alta eksklusif menerimanya dan menendang bola itu ke arah gawang. Dan...
“GOOL!!!”
Kami berteriak kencang, saya bertepuk tangan dengan semangat. Aku tersenyum bahagia lantaran Alta berhasil mencetak gol. Saat saya sedang memperhatikan Alta, Alta melirik kearah penonton kemudian pandangannya berhenti ke arahku, saya menunduk aib dan kurasakan pipiku memanas. Mungkinkah perasaan ku terbalas?
***
Keesokan harinya ketika jam istirahat, Deri sobat sebangku Alta menghampiriku yang sedang ngerumpi bersama ketiga temanku. Deri memintaku untuk mengikutinya, ia mengajakku kebelakang sekolah.
“Ada apa, Der?” tanyaku ketika sudah hingga dibelakang sekolah.
“Ini, saya cuma mau ngasih ini dari Alta buat kamu.” Deri memperlihatkan setangkai bunga mawar putih dan sebuah amplop berwarna pink.
Aku mengambilnya dan menatap Deri bingung. Saat saya akan bertanya Deri buru-buru berbicara terlebih dahulu. “Nanti jangan dulu pulang ya, Han.”
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“Ya, jangan aja. Nanti kau akan tau sendiri. Aku duluan, Han.”
Deri berjalan meninggalkan ku, gres beberapa langkah ia berjalan ia membalikkan badannya. “Kamu mending nanti nunggu didepan kelas aja, Han,” sesudah berkata begitu Deri kembali melanjutkan jalannya.
Aku yang ingin tau dengan isi amplop tersebut eksklusif membuka isinya. Aku ibarat kenal dengan kertas loslif ini, ibarat kertas yang selalu diberikan Alta kepada klub mading. Apa memang benar ini semua dari Alta? Tanpa membuang waktu saya eksklusif membaca kertas tersebut. Senyumku mengembang membaca bait perbait puisi yang ditulis Alta untuk ku.
Sepanjang jam pelajaran saya tak fokus, pikiranku semuanya damai Alta. Aku tak sabar ingin menanyakan eksklusif kepada Alta. Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu telah tiba. Aku menghembuskan nafasku dalam-dalam, saya sangat gugup.
Lima menit saya berdiam diri dikelas namun Alta belum juga datang. Lalu saya teringat pada pesan Deri tadi, saya segera bangun dan berdiri didepan kelas XI-IPS 1 kelasnya Alta. Aku mengintip dari balik pintu, disana Alta sedang duduk sendirian. Jantungku berdetak makin kencang, saya menyandarkan punggungku kedinding sambil memegang dadaku, aaah.. Bagaimana ini? Aku gugup sekali.
Saat saya hendak pergi, Alta tiba-tiba saja sudah berdiri didepan pintu. Kami berdua terkejut dan menyebut nama masing-masing.
“Hana?“
“Alta?”
Kami berdua sama-sama membisu dan saling pandang, jantungku berdetak makin kencang. Aku tersadar dan mengerjapkan mataku beberapa kali, Altapun melaksanakan hal yang sama.
“Ada apa, Hana?”
Aku gugup dan menggerakkan bola mataku gelisah, saya tersenyum kecil pada Alta untuk menutupi kegugupan ku. Aku kemudian berterimakasih untuk puisi yang diberikan oleh Alta. Kulihat Alta mengernyit bingung. Aku kemudian memperlihatkan bunga mawar dan puisi kepada Alta. Alta mengambilnya dan membaca puisi tersebut. “Inikan...” Alta mengerjapkan matanya tak percaya.
Aku mengernyit bingung, kenapa ekspresi Alta ibarat itu? Apa mungkin Deri mengerjaiku? Tapi itu tak mungkin lantaran saya hafal betul itu tulisannya Alta.
“Puisi itu ihwal saya kan?” tanyaku memastikan.
Kulihat Alta mengangguk pelan. “I-itu tidak ibarat yang kau ba-”
Aku segera memotong ucapan Alta, “Makasih puisinya, saya suka kok, Al,” ucapku sambil tersenyum. Aku menahan tawa melihat Alta yang salah tingkah.
Altair Bhagaskara kau ialah Bintang yang selalu bercahaya dan menyinari hidupku.
Profil Penulis:
Nama: Rika Santia Sunari
Ttl: Ciamis, 24 april 1999
Fb: Rika Aldebaran
Twitter: @Sunny_Aldebaran
Nama pena: sunnyrisya
Advertisement
